Krisis Politik Awal Pemerintahan dan Potensi Teragitasinya Terhadap Rakyat

Ichsan Amin/ 2241013011 (diajukan sebagai tugas Essai yang telat, Magister Komunikasi Univ Bakrie) 

Jujur. Penulis cukup sulit berpikir menulis artikel khusus dan spesifik tanpa mengamati perkembangan sekarang. Setidaknya Periode Desember 2024 dan Januari 2025. Di periode ini, ada dua momen besar ekonomi dan politik di tanah air.  

 

Pertama, di awal Desember 2024, terpilihnya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, seharusnya menandai era baru pemerintahan dengan semangat yang baru bersama para menteri-menterinya yang baru saja dilantik per Oktober 2024. 

 

Kedua, ekonomi yang berjalan lamban, melihat prediksi para pakar yang jauh memandang pertumbuhan ekonomi ke arah delapan persen sebagaimana target Presiden Prabowo adalah target yang sulit dicapai.  

 

Berbicara krisis politik di tanah air di masa pemerintahan Prabowo tidak lepas dari gunjangganjing konflik pada masa Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dengan partai pemenang pemilu 2024 PDIP Perjuangan. Apalagi kalau bukan cawe-cawe politik Jokowi.  



 

Sebenarnya, cawe-cawe politik ini sudah mulai tercium pada awal 2024, kurang setahun berakhirnya masa jabatan Presiden ke-7 Jokowi. Tanda-tandanya mulai kelihatan ketika Partai PDIP kadung membuka kebobbrokan cawe-cawe Jokowi.  

 

Misalnya perpanjangan masa jabatan Presiden yang diusulkan ke DPR, Undang-Undang 

Cipta Kerja dan yang paling kelihatan adalah perubahan usia jabatan calon wakil presiden ke MK. Dari tiga peristiwa ini satu peristiwa gagal digolkan yakni perpanjangan masa jabatan presiden. Tiga perisiwa ini bentuk nyata cawe-cawe Jokowi sebagai seorang kepala negara.  

 

Fakta-fakta melalui tiga peristiwa ini dibongkar Parta PDIP. PDIP membaca gerak-gerik Jokowi. Akan tetapi terlambat untuk diantisipasi. Sebabnya, Undang Undang Cipta Kerja sudah gol duluan, ditambah Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah mengubah peraturan melalui usia calon wakil presiden yang notabene publik jelas mengetahui Gibran Rakabuming Raka sang anak, dipasang sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.  

 

Adapun, mencermati kondisi ekonomi tanah air dalam kurun waktu setahun terakhir bisa dibilang stagnan atau berada pada kondisi jalan di tempat di persentase 5%. Ini bisa dimaklumi sebab, masa pemilihan di gelar pada Februari 2024.  

 

Bagi pengusaha, periode ini adalah periode yang disebut wait and see. Artinya kalangan pengusaha menunggu hasil siapa pemenang Pemilu 2024. Ekonom Amerika Serikat, Paul Krugman mengatakan, krisis ekonomi adala krisis multidimensi yang memiliki hubungan sebab dan akibat. Ujungnya adalah kepercayaan atau trustTrust yang datangnya dari investor dan masyarakat itu sendiri. 

 

Krugman peraih nobel ekonomi 2008 ini menunjukkan bahwa  dalam kondisi nilai tukar tetap  atau  sejenisnya, masalah neraca pembayaran yang penting untuk diperhatikan adalah semakin hilangnya kekuatan dalam mengendalikan turunnya cadangan devisa yang kemudian menjadi pemicu munculnya krisis neraca pembayaran. 

 

Ia berpendapat bahwa krisis tersebut adalah kon- sekuensi dari perilaku maksimisasi dari investor. Jika ada ketidakpastian akan nilai tukar maka  akan  menyebabkan  keluarnya modal. Model  ini  mampu  membantu menjelaskan atas apa yang terjadi di Thailand dan Indonesia serta sebagian negara Asia pada tahun 1997. Tentu saja kata kunci maksimasi dari investor penuh dengan muatan-muatan kepentingan.  

 

Membawa kata kunci ini ke era Presiden ke-7 Jokowi cukup jelas kelihatan. Sebagai kepala negara saat itu, tidak ada yang tidak bisa dilakukan seorang presiden untuk mencapai tujuan dan kepentingannya. Yang kita baca sedari dulu, sejak 2014 (setidaknya) adalah keliru kalau menyebut Jokowi membawa tujuan dan kepentingannya untuk rakyat. Termasuk, membawa investor lokal dan investor luar ke dalam negeri dalam kasus pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).  

 

Kenna Deh di Prank Se-republik 

Sampai sekarang publik tahu bagaimana APBN dikerahkan untuk membangun IKN, tidak seperti janji ada investor besar dari dalam dan luar menanam investasi. Semua keliru janjijanji ini, sama kelirunya ketika mobil ESEMKA bakal menjadi produk oomotif kebanggaan Indonesia atau sama kelirunya ketika Jokowi pecinta lagu-lagu Metal yang tidak bisa menyanyikan satu judul lagu Metal pun- atau ketika Jokowi yang terbata berbahasa inggris dan disebut bisa berbahasa inggris. Keliru yang luar biasa yang bagi penulis bagai di prank se-republik. Kenna deh.

 

Banyak saksi ketika gerakan Civil Society mulai lantang menyebut fakta-faktanya hingga sampai kepada kesimpulan, Jokowi merusak konstitusi. Merusak konstitusi oleh Organized 

Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) dianggap sebuah korupsi yang sistemik. 

 

Mari berangkat pada bagaimana potensi rakyat bisa teragitasi dengan semua penjelasan di atas yang tentu saja tidak bisa lepas dengan pendekatan komunikasi. Apakah itu pendekatan kelompok, pengikut, kelompok pendengung (buzzer), partai, oposisi, koalisi berujung pada ketidakpercayaan masyarakat karena kondisi gaduh yang diluar jangkauan.  

 

Adakah Teori Adorno bermain berdasarkan penjelasan ini. Jelas ada. Karena potensi komodifikasinya yang besar melalui para pendengung? Bukan rahasia masing-masing faksi punya kelompok pendengung. Paling kelihatan tentu saja kelompok pendengung yang ditinggalkan Presiden ke-7, Jokowi.  

 

Kapan isu politik menjadi sebuah gerakan yang besar? Jawaban ini akan mengena ketika sebuah isu menjadi populis di mata rakyat. Sedangkan isu menjadi populis/populer ketika semua intrumen dimainkan hingga mengena kepada audience, tersihir bagai drama korea dan Kpop menjadi sebuah komunitas yang besar, satu bernama rakyat. 

 

Kelindan isu yang besar ini episodenya masih berjalan hingga sekarang. Tapi tanda-tandanya sebenarnya sudah mulai kelihatan di Era Presiden Prabowo. Tidak adanya ketegasan pemerintah ujungnya trust, tidak adanya ketegasan hukum ujungnya trust atau bicara yang lain tidak adanya ketegasan perlindungan kepada masyarakat kecil ujungnya trust. Sistemiknya lingkaran penguasa cenderung bersikap bagai raja. Padahal penguasa dalam hal ini adalah milik dan kontrolnya lewat publik (pejabat pemerintahan). 

 

Karakter Bubur Setengah  

Perwakilan publik di DPR dianggap tidak bisa apa-apa karena DPR hanya mengikuti apa kata partai politik.  Sementara, media katakanlah media konvensional atau media mainstream saat ini hanya bersifat sebagai konfirmasi belaka. Contoh kasus, media konvensional on line kebanyakan hanya melakukan verifikasi benar atau tidaknya informasi yang dianggap penting oleh masyarakat atau publik. Sebab berita tidak benar yang kita sebut dengan hoaxs banyak sekali berseliweran (pengguna ponsel di tanah air 350 juta orang). 

 

Selain sebagai sekadar konfirmasi belaka, media konvesional saat ini hanya kebanyakan menunggu-yang kalau mau dikatakan sama dengan sifat pengusaha (wait and see). Ketika bubur sudah menjadi bubur lebih dari setengahnya, maka sudah pasti itu bubur yang bisa dikonsumsi buat sarapan. Dan seperti ini lah sifat media konvensional sekarang. Ketika masyarakat mayoritas sudah bergerak untuk melawan, maka bisa dipastikan media konvensonal ini berpaling dari karakter wait and see

 

Tapi tidak semua media konvensional masuk dalam kategori wait and see ini. Media lain seperti Tempo, atau setidaknya Akurat misalnya (tapi ini media partisan) atau Kumparan misalnya berani menelusuri fakta-fakta mengenai Jokowi yang kuat diduga cawe-cawe dan menjadi dalang dari semua krisis yang mandeg ini.  

 

Masyarakat dipaksa untuk percaya, namun ada masyarakat lain yang melawan atau tidak percaya. Pun ada partai yang mulai melawan membangun ketidakpercayaan atau setidaknya bersikap diam-sama hal diamnya media  konvensional dalam karakter wait and see. Partaipartai ini tidak berpihak kepada Jokowi selain Partai PDIP. 

 

Bukankah krisis politik bermula dari trust hingga merembes ke krisis-krisis yang lain. Episode ini masih kita tunggu. Jika mayoritas publik sudah teragitasi bukan tidak mungkin ada nama yang dilengserkan, nama yang mewariskan sejarah buruk dalam perjalanan bangsa ini.  

 

Pustaka 

 

Kurniawati A., Sera A., & Sigit R. R. (2021). Teori Kritis dan Dialektika Pencerahan Max Horkheimer. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 

 

Burhan Bungin (2008). Sosiologi Komunikasi  

 

Nandito Putra (9 Januari 2025). PDIP soal Posisi Sekjen usai Hasto Kristiyanto jadi Tersangka KPK. https://www.tempo.co/politik/pdip-soal-posisi-sekjen-usai-hasto-kristiyantojadi-tersangka-kpk-1192029

 

Nusantara A.G., (14 Desember 2018).  Sisi Lain Budaya dalam Masyarakat Industrial. Transisi.org. URL: https://transisi.org/sisi-lain-budaya-dalam-masyarakat-industrial/

 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Kutipan Favorit yang Eksistensialis

Surat Cinta Kepada Ibu Megawati