Pada Dasarnya Kita Sakit Jiwa

 

foto ini tentu diambil dari paltform SiapDok

Kerap kali saya merasa sulit mengambarkan sebuah proses sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa. Misalnya, pernah bermimpi menjadi presiden, seorang dokter atau musisi. Jika pernah bercita-cita menjadi presiden di masa kanak-kanak lalu kemudian melihat pekerjaan presiden sebagai kepala negara dengan beban berpuluh juta rakyat menggantungkan hidupnya pada seorang pemimpin. 


Atau jika pernah bercita-cita menjadi dokter dengan beban keselamatan pasien menjadi tanggung jawab seorang dokter. Pun menjadi musisi dengan beban bagaimana memberikan. hiburan yang layak kepada para penikmat. Maka pilihan ketiga adalah pilihan paling gampang menggambarkan prosesnya. Bermusik. 


Saya belum pernah bersentuhan langsung dengan presiden, tapi dengan dokter saya sudah biasa setidaknya pernah menjadi pasien. Tapi jika diamati, dua profesi ini, tidak seluwes profesi yang satunya. seluwes maksud saya, jika seorang presiden dan dokter punya garis tangan dan sumber daya uang untuk menjadi keduanya. Garis tangan itu nasib baik, sumber daya uang itu bisa berasal dari teman atau berada di rahim pesohor. 


Tapi bermusik adalah sensasi sendiri. semua kalangan bisa melakukan ini dan menjadikannya profesi. Dia bukan semacam profesi yang spesifik seperti dokter atau bukan profesi yang tegas mengikuti garis tangan seeperti presiden. Meski, pemusik profesional sekalipun menganggap bahwa bermusik adalah sebuah profesi yang seharusnya bisa dilihat selaiknya profesi lain yang spesifik seperti dokter. Tapi ini masih tergantung pada tingkat lapangan kerja yang tersedia. 


Saya mau bilang bahwa, setiap orang punya passion-nya. Minatnya/ ketertarikannya, dunianya. Tapi tidak setiap orang punya kesempatan mendapatkan minatnya itu. Tapi apakah terlambat mendapatkan minat itu. Tentu tidak Fergusso. Disepanjang nafas kamu, sempatkanlah belajar mengembangkan minat itu. Lagi-lagi pepatah populer bilang bahwa: Tidak ada kata terlambat, yang ada hanya tiduran muluk, rebahan muluk sambil nonton Netflix


Dan saya masih saja percaya pepatah populer itu. Sebagai seorang penganut Sartre yang taat dan beragama, keberadaan mendahului esensi, selalu saya mengartikannya keberadaan kita mendahului diri kita. Selama nafas masih ada, selama itu juga kamu bisa menyerap kehidupan dan sari-sarinya. Yang penting kamu waras saja menghadapi dunia dengan konsep kekonyolannya. 


Jadi, kalau kamu hidup di dunia dengan konsep duniawi, maka bagi mahluk aneh seperti alien dianggapnya kita sakit jiwa. Begitupun sebaliknya. Simpulannya, Presiden, dokter dan bermusik sekalipun bisa kamu tekuni, tidak usah memandang ijasah atau sertifikat yang kamu selipkan di Linkedln mu… 


Wassalam ...




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar