Membangun Kerajaan Mi Kering di Makassar
"Bisnis ini mulai dirintis sang kakek tionghoa asal Makassar pada masa penjajahan Jepang."
Tengah malam di Jalan Nusantara masih ramai oleh lalu lalang kendaraan.Tepat di depan pintu masuk Pelabuhan Makassar, dua lelaki berbeda usia terlihat tak acuh terhadap keramaian itu. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Lelaki yang muda tengah memasak sesuatu di penggorengan besar. Tangan kananya lincah menggerakkan sodet (sendok besar untuk menggoreng). Sedangkan tangan kirinya memasukkan bahan masakan ke penggorengan.
Tengah malam di Jalan Nusantara masih ramai oleh lalu lalang kendaraan.Tepat di depan pintu masuk Pelabuhan Makassar, dua lelaki berbeda usia terlihat tak acuh terhadap keramaian itu. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Lelaki yang muda tengah memasak sesuatu di penggorengan besar. Tangan kananya lincah menggerakkan sodet (sendok besar untuk menggoreng). Sedangkan tangan kirinya memasukkan bahan masakan ke penggorengan.
Seakan tidak mau kalah sibuk, lelaki yang usianya lebih tua menyiapkan semua bahan masakan. Daging dan sayur ia iris menjadi potongan kecil. Potongan-potongan itu diserahkan kepada yang muda. Sepertinya tidak ada waktu bagi mereka untuk berhenti sejenak.Ya, begini, kalau sedang banyak BUKA pelanggan, kata Cary, pemuda yang ahli memasak itu.
Cary bernama asli Khu Yong Ming. Dia bermarga Khu asal Kanton. Bersama ayahnya, Khu Sai Kok, mereka mengelola rumah makan Mie Henki, yang berada di Jalan Nusantara. Mie Henki menyajikan makanan khas pecinan, yaitu mi kering. Hidangan yang berasal dari Tiongkok ini serupa dengan mi Kanton. Bedanya, mi Kanton menggunakan mi basah, sedangkan mi kering sebaliknya, garing dan renyah.
Menurut Cary, bisnis mi kering ini dirintis pertama kali oleh kakeknya pada masa penjajahan Jepang. Saat itu sang kakek membuka warung di Jalan Bali. Itu dulu rumah Angko Cao, kakek saya, kata Cary. Usaha yang dirintis sang kakek ternyata berkembang pesat.Warungnya tidak pernah sepi dari pembeli.
Keahlian Angko Cao membuat mi kering itu kemudian diwariskan kepada empat anaknya.Warung di Jalan Bali, yang dikelola salah satu anaknya, belakangan diberi nama Mie Awa. Sedangkan tiga anaknya yang lain membuka warung serupa di beberapa tempat. Ada Mie Titi, Mie Henki, dan Mie Anto,kata Cary. Kami masih saudara dari keturunan Angko Cao.
Begitu juga dengan warung Mie Cheng, yang berada di Jalan Pengayoman. Pemilik warung adalah anak keturunan pemilik Mie Titi. Sedangkan warung Mie Anto dikelola oleh anak bungsu dari keturunan Angko Cao yang bernama Amoi. Nama warung diambil dari nama suami saya, Anto,kata Amoi.
Harga menu mi kering di semua tempat itu relatif sama, yaitu Rp 17 ribu. Di warung Mie Cheng, misalnya. Dalam sehari paling sedikit melayani seratus pembeli. Jumlah itu belum termasuk pembeli yang memesan lewat layanan pesan-antar.
Amoi bercerita, pelanggan ayahnya kebanyakan adalah kalangan mahasiswa dan dokter. Para pelanggan ini menyarankan agar Angko Cao mengganti mi yang digunakan. Jadi waktu itu mereka minta kepada papa, jangan menggunakan mi basah. Maka papa menggoreng mi itu agar terasa renyah, katanya.
Sejak dia menggunakan mi kering, ternyata pelanggan semakin banyak dan bertahan sampai sekarang. Padahal sebenarnya mi ini hanyalah mi Kanton.Yang beda hanya pada pengolahan mi- nya saja, kata dia.
—artikel ini dah pernah tayang di Koran Tempo Makassar pada 2010 silam
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..