jurnalistik di era pandemi covid-19 dan setelahnya



Saya mau bilang bahwa jurnalis di era pandemi Covid-19 harus bisa lebih hebat dari influencer sekalipun. Influencer atau seseorang yang punya pengaruh di ranah publik. Ia bisa saja artis, tukang sulap yang pensiun jadi pepengaruh (atau inluencer) dan pepengaruh lainnya yang kesohor di platform youtube. 

Ini semacam semangat untuk berubah. Ya, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Dahulu, jauh sebelum adanya era ponsel pintar, jurnalis yang hebat banyak dilihat dari karyanya berupa tulisan-tulisannya yang berkarakter. Jurnalis handal berangkat dari kehebatannya mengulik narasumber mengkonfirmasi fakta di lapangan ditambah data pihak pertama yang valid. Digabung jadi satu cerita utuh, akan maknyus dibaca khalayak. 

Oh ya, saya sendiri jurnalis, kisaran sepuluh tahunan saya menggeluti dunia ini. Profesi ini dua sisi keping bergantian. Antara idealisme dan perut. Saya menyikapinya dengan menyeimbangkannya saja. Selama dosisnya tidak berlebih, saya tidak ada masalah. Tapi, kalau kau mencintai seseorang barangkali enggan meninggalkannya. Seperti itulah rasanya saya dengan jurnalistik.

Ada istilah mati segan hidup tak mau. Istilah ini disematkan di media cetak atau koran. Oke, saya pribadi sepakat. Tapi kalau bisa diubah, mati segan biarkan hidup dan berkreasi, saya lebih memilih yang ini. Saya bukan ahli jurnalistik, tapi sehari-hari bergelut dengan dunia ini sebagai jurnalis koran. Bukan apa-apa, tapi solusi untuk tetap bernafas di dunia jurnalis adalah mengasah kemampuan dalam arti menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang buruk ketika profesi ini diambang punah. 

Punah maksudnya disepelekan. Karenanya jurnalis sekarang harus lebih canggih dari inluencer sekalipun. Caranya, tonjolkan dirimu. Media nomor satu sejagat dengan pembaca puluhan juta sehari saya kira sudah menuju ke arah sana. 

Saya memprediksi, ke depan, jurnalis adalah media itu sendiri. Jurnalis dibaca ketika tulisannya sesuai dengan fakta, kroscek dan data. Jurnalis ditonton ketika mampu mempertontonkan dirinya sebagai anchor yang piawai. Jurnalis dilihat ketika mampu memuat foto dan video. Kesimpulannya jurnalis harus bisa menjadi influencer yang plus-plus. 

Suatu hari, saya pernah bertanya kepada mas Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis). Sebenarnya bukan bertanya, tapi mengeluh. Pertanyaannya begini: Kondisi sekarang, sepertinya pemerintah bakal lebih condong memanfaatkan influencer dibanding jurnalis. 

Dan mas Manan, menjawab sederhana tapi sedikit telak sih sebenarnya. "Hehehe.. itu tantangan bagi medianya ya," ucapnya singkat. 

Jawaban itu menohok, ya sangat menusuk tajam. Saya jawab: Siapppppp (ajah). Setelah dipikir-pikir, ya memang itu tergantung dari medianya. Yo wess. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, jurnalis di era pandemi Covid-19 dan barangkali setelahnya : Jurnalis adalah media itu sendiri. 


Jika jurnalis adalah media itu sendiri, bagaimana dengan kebanyakan jurnalis yang masih menggantungkan hidupnya pada sebuah industri media? Saya pikir tidak ada masalah. Industri bagaimanapun lurusnya, punya kepentingan. Tapi menjaga ruh juga perlu. Banyak platform yang terbuka gratis menyuarakan jurnalistik yang sebenar-benarnya (ruh). Bukan tidak mungkin industri media yang akan mengikuti jurnalis. Di luar sana, di negara-negara yang lebih maju, banyak kolumnis hebat yang berangkat dari kerja-kerja jurnalistik. Banyak portal online pribadi yang bekerja mengangkat cerita data dan fakta. Juga tentu saja, banyak youtuber-youtuber hebat yang berangkat dari kerja-kerja jurnalisme televisi. 

Ini hanya soal pembuktian saja, sisa waktu yang akan menjawabnya. Oh iya, saya pernah membuat analisis boong-boongan soal media yang hebat apakah itu industri maupun pribadi-pribadi, adalah media yang mampu mencakup semua hal. Artinya, media itu mampu memuat cerita, foto, video dan data (infografis).  Di era artifisial intelijen sekarang ini, semua tersedia dengan murah dan bermanfaat. 




Yang paling penting adalah menjaga ruh profesi ini. Tinggal niat baik dan keinginan menjalankannya. Sebagai catatan penutup, ilustrasi seperti video main piano, foto dan infografis yang saya cantumkan hanya semacam contoh sederhana bahwa jurnalis bisa menjadi media hebat itu sendiri. Ilustrasi itu tidak ada saling berhubungan. Cuman contoh belaka. Kerna seperti sa sebutkan tadi, media yang hebat mampu memuat video, cerita dan data. Apalagi kalau kamu seorang jurnalis yang berbakat menjadi youtuber. Warbiasah, cuman sayangnya kerna perut saya sendiri masih jauh dari ideal begitupula wajah saya yang masih bulat, belum pede menampilkan diri sebagai seorang acnchor man. 

Tapi tunggu saja, ketika orang tidak lagi mempedulikan kegantengan.... 


-----Hehe ini pandangan pribadi saja ya pembaca budiman yang baik hati. 


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar