Ini Bukan Berita
Suatu waktu, kau memang harus jujur pada dirimu sendiri. Tak menjadi egois, berpaling dari kenyataan yang sebenar-benarnya. Ingin sekali jujur kepada pekerjaan yang bikin galau karena tak berdaya mengikuti arus. Itulah kenapa saya merencanakan tulisan-tulisan ini, jauh sebelum saya bekerja di dunia wartawan. Semacam catatan harian, meski juga tak bisa dibilang harian karena tak rutin. Kecuali menulis berita, itu urusan perut. Dan urusan perut adalah urusan dapur dan asap.
Sebagai buruh media mainstream di koran cetak nasional, ada lelah di sana yang saban hari meliput di lapangan. Saya bukan redaktur, namun wartawan lapangan yang bisa dibilang cukup lama beraktivitas dengan rekaman transkrip hasil wawancara. Pengennya, kalau bisa tak ingin menjadi redaktur, sebab tidak bisa beraktivitas di belakang meja dan ruangan dingin dengan penyejuk udara.
Tapi kalau bisa, saya ingin jadi pemimpin redaksi saja, tanpa melalui proses menjadi redaktur. Kalau di lapangan saya bisa melihat hal baru, atau setidaknya tak harus mendapatkan banyak perintah disuruh ini dan itu, kecuali peliputan yang wajib. Meski kerap peliputan wajib bikin galau wartawan seperti saya. Tapi, jangan pernah menolak kalau mendapatkan tugas peliputan wajib. Selalu ambil sisi positifnya.
Toh kalau galau atau sumpek dengan aktivitas, saya terbiasa mengunjungi blog orang, bertamasya di dunia media sosial, atau mengisi blog saya. Karena itu, saya telah merencanakan panjang, untuk menjadi jurnalis warga. Bukan hanya sebagai jurnalis mainstream. Alasannya sederhana, hal-hal dibalik berita mainstream selalu punya ceritanya sendiri.
Sebagai wartawan yang belajar otodidak, jurnalisme warga saya pikir punya tempat sendiri. Masih ingat kejadian bom dan penembakan teroris Sarinah di Jakarta? Saya kira, untuk ukuran Indonesia, harusnya peristiwa itu menjadi momen yang tepat munculnya jurnalisme warga. Saya ingat sekali peristiwa Sarinah, yang hanya berjarak 300 meter dari tempat saya duduk ketika itu menunggu liputan. Tepatnya di Kementerian Perhubungan daerah meliput saya.
Kalau tidak salah, ada satu media yang merekam kejadian itu. Nama medianya saya lupa, kalau tidak keliru, media asal China. Sedangkan wartawannya saya kira seorang Fotografer. Dia merekam foto dan video detik-detik kejadian Sarinah. Hasilnya, dia menjual fotonya itu ke media asal China itu.
Sebulan yang lalu, ketika tugas meliput persiapan pengoperasian Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dalam sebuah konferensi pers pengelola bandara tak hanya mengundang wartawan media mainstream atau media konvensional. Mereka juga mengundang para blogger jurnalisme warga. Sepekan setelahnya, Garuda Indonesia yang mempromosikan dunia travelling Indonesia juga mengundang blogger jurnalis warga dalam acara yang sama.
Saya kira, di kekinian promosi positif dan paling efisien ada pada jurnalisme warga. Jurnalis-jurnalis seperti ini tidak hanya memadukan blog (blogger), namun telah terintegrasi dengan media sosial lainnya (facebook, twitter dan path). Ketika ramai dan menjadi perbincangan di dunia media sosial, bukan tidak mungkin keramaian itu membentuk opini publik dan punya kekuatan mempengaruhi pengambil kebijakan.
Terkadang opini publik semacam ini luput dari media-media maintream dan media konvensional. Apalagi, ramalan tentang matinya media cetak sudah diujung tanduk. Itu sebabnya media mainstream dan konvensional yang tidak inovatif akan banyak tertinggal, dan tinggal tunggu hari menutup oplah. Media cetak misalnya, kini merambah melihat peluang di media on line. Media on line yang mampu melihat prospek bisnis media ke depan, membuat forum pembaca atau memuat kolom komentar yang bejibun. Para komentator yang berpolemik ini dengan mudahnya bisa diakses langsung di media-media sosial.
Inilah era media, era nyinyir yang memadukan banyak komentator. Tapi kadang-kadang, nyinyir itu menarik para pembaca di dunianya sendiri. Tapi pada akhirnya, seorang jurnalis warga dipercaya pembacanya jika ia jujur kepada informasi yang diberikan. Jujur dalam arti, melakukan cek dan ricek yang seimbang. Tidak berat sebelah dan punya insting melihat dari kacamata yang lain. Bukan hanya mengabarkan kulit luar belaka.
Informasi dalam teori jurnalistik dengan penulisan pakem 5 W + 1 H (who,what, why, where, when + how) tidak mutlak dalam penulisan jurnalisme warga. Bahkan bisa dibilang sudah usang. Cukup pelajaran mengarang di sekolah dasar. Selama informasinya runut, jelas dan logis saya kira sudah masuk kategori jurnalisme. Saya sendiri melihat urusan menulis, mengarang cerita punya talentanya sendiri. Masalahnya, kalau tak diasah juga tumpul akhirnya.
Oh iya, saya mengisi blog saya sejak tahun 2007. Di blog ini banyak informasi yang bermanfaat saya kira. Dan saya masih bangga menjadi jurnalis. Tak peduli apakah saya jurnalis mainstream atau konvensional. Bagi saya, setiap orang punya ceritanya sendiri, apakah ketika memposisikan sebagai jurnalis warga atau jurnalis mainstream. Selama ia jujur dan karyanya bermanfaat bagi khalayak, maka mereka harus tetap diapresiasi.
Tak peduli mereka menggunakan bahasa prosa, bahasa puisi, curahan hati atau karangan sekelas cerita pendek dan novel. Saya menganggap mereka adalah jurnalis warga yang punya tempat di hati para pembacanya.
Oh iya, saya tegaskan kalau ini bukan berita.
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..