Akulturasi Kuliner Makassar-Tionghoa


Cuccuru bayao, onde-onde, atau kue basah, seperti kue bolu dan biji nangka, biasanya menjadi menu wajib dalam pernikahan peranakan Tionghoa di Makassar yang dikenal dengan sebutan Korontigi.

Selain kue, ada makanan khas lain, seperti nasi goreng, mi goreng, mi kering, dan tentu saja coto Makassar. Aneka kuliner ini adalah buktiakulturasi budaya Makassar dan Tionghoa. Kuliner ini buka milik Tionghoa atau milik Makassar, melainkan milik semua warga, sejauh mereka mampu meraciknya. 

Menurut peneliti masalah Tionghoa di Makassar, Shaifuddin Bahrum (kini tinggal di Jakarta), kuliner di Makassar berkembang sejak warga Tionghoa menghuni wilayah ini. "Jadi tidak hanya perpaduan budaya saja. Banyak hal yang berpadu melahirkan sesuatu yang baru. Salah satunya di bidang kuliner," ucapnya.

Contoh paling sederhana adalah bakso. Meski bukan makanan tradisional, bakso kini tidak hanya dijual oleh orang Jawa atau Tionghoa. "Tapi banyak juga dijual oleh orang Makassar," kata dia. Masuknya warga Tionghoa membawa perubahan pada cita rasa makanan di Makassar.

Shaifuddin mengatakan perubahan rasa juga bergantung pada ketersediaan bahan yang ada. "Biasanya, kalau bahan yang ada di Tiongkok tidak ada di Makassar, akan tercipta kue baru," katanya. Salah satu yang paling dikenal adalah, bakpao. Di Makassar, bakpao tidak jauh dengan kue pawa. Kue ini sama-sama terbuat dari tepung terigu dan di dalamnya diisi kacang dengan campuran gula halus.

Mery, pengelola Bakpao Sangir di Jalan Sangir, mengatakan bakpao adalah kue khas Tiongkok. "Berbeda dengan pawa. Kalau pawa adonannya sangat rapat, sehingga tidak terlalu mengembang. Kalau bakpao Tiongkok lebih mengembang karena berasal dari tepung giling," katanya.

Namun ia tak mengetahui pasti kapan bakpao mulai dikenal di Makassar. "Saya berjualan di sini sejak 1992. Kalau sejarah masuknya bakpao terus terang saya tidak tahu. Tapi kue pawa adalah bukti dari akulturasi kuliner ini," katanya.

Ada lagi mi kering, yang aslinya dikenal di Tiongkok sebagai mi kwantong. Perbedaan mi ini terletak pada pengolahannya. Jika di Kwantong menggunakan mi basah, di sini justru menggunakan mi kering yang digoreng agar terasa renyah. Konon perubahan mi ini terjadi sejak 1960-an.

Menurut Hengki, salah satu keturunan Angko Cao, yang pertama kali menjual mi kering di Makassar, kala itu banyak mahasiswa yang menjadi langganan Angko Cao, di antaranya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Mereka dulu suka makan di Jalan Lombok. Nah, salah satu dari mereka minta bagaimana kalau minya tidak direbus, tapi digoreng biar renyah," ucapnya.

--Catatan : tulisan ini pernah dimuat pada 17 Oct 2011 sewaktu masih jadi wartawan di Makassar (Foto comot di Google)

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar