Diam




Tuhan yang baik, saya ingin mengadu banyak soal dan saling bertaut di dalam kepala saya. Maka, untuk sementara ini, anggap saja ini perbincangan ringan kau dan saya saja seolah kita bertatap muka menyeduh kopi menghirup dan menyeruputnya, menikmati sore di beranda pulau Tarempa di gugusan kepulauan Anambas. Sehabis itu, terserah kaulah tuhan.


Sudah kuceritakan dahulu pada perbincangan-perbincangan awal sebelum ini, bahwa saya sangat senang dengan Falsafah hidup seorang Gie dan Ahmad Wahib. Keduanya mati muda. Entah, mungkin kau sering mengunjunginya dunia lain di sana dan bercengkrama sambil mendengarkan kekecewaannya masuk akal di kepala mereka berdua. Kata-katanya begitu begitu geger di dalam jiwa saya.

Keduanya mengajarkan saya untuk tidak menjadi seorang yang munafik. Saya tahu, munafik adalah cikalbakal dari kebohongan, kebohongan cikalbakal yang beranakpinak mennjadi perbuatan yang sangat cela. Dan perbuatan yang cela, tak enak hati dicap atau diungkit oleh teman atau kawan sendiri. Lebih sakit hati, kalau diungkit keluarga sendiri. Itu sebabnya, saya lebih memilih menjadi seorang yang diam.

Barangkali, diam, dalam kamus katamu masih bersangkutpaut dengan munafik itu sendiri. Engkau pernah berkata, kalau hambamu mengetahui apa-apa yang salah, maka laranglah dan tuntunlah ke jalan yang benar. Maka itulah saya, seperti kebanyakan orang yang diam dan pura-pura tak tahu, tak melarang dan menuntun.

Ada dua amalan di dunia ini yang saya ketahui tuhan. Pertama ialah pengetahuan tentang kau tuhan- saya sebagai hambamu wajib mengikuti aturan main yang kausebarkan dalam kitab yang kauwahyukan. Kedua, ilmu pengetahuan yang universal yang saya dapat sejak kecil di bangku sekolah, kuliah dan masyarakat.

Karena saya hanya manusia biasa dengan pengetahuan agama yang dangkal pula, maka saya belum bisa memenuhi amalan dalam kitabmu tuhan. Pun, begitu juga dalam bermasyarakat, saya berasa masih sangat dungu sekali. Tapi saya masih berusaha menuju dan ke arah sana. Silah kaucatat tuhan. 

Oh ya, kembali ke soal munafik. Ada banyak sekali manusia-manusia munafik di bumi ini dan tentu saja engkau sangat tahu siapa saja mereka. Tapi soal munafik ini, apakah tak ada orang yang munafik hanya sementara saja sambil berbuat baik terlebih dulu, atau sambil mencerna kehidupan yang terus berproses ini.

Hingga kemudian ada kesempatan memutuskan untuk menjalankan amalanmu, betulbetul menjalankan dengan benar apaapa yang kauwahyukan hingga nanti kelak masa di liang lahat berlaku, kaupanggil satupersatu, kausidangkan dengan pilihan surga dan neraka.

Saya tahu, ini kompromi yang berat, tuhan. Saya tahu. Ibaratnya saya sedang melacur, saya sudah melakukan korupsi seperti-seperti berita-berita pejabat yang ditangkap anti rasuah itu, saya sudah berbohong berkalikali dengan diam pun tak memberi peringatan. Tapi percayalah tuhan, saya tak pernah membabtis, kalau itu salah.  

Saya hanya diam. Itu saja. Diam mendengarkan mereka-mereka yang paling benar, juga diam mendengarkan mereka-mereka yang salah sekalipun. Jika diam, juga bukan pilihan paling baik, maka munafiklah saya. Munafiklah saya yang tak memberitahukan bahwa mereka yang merasa paling benar tak punya sikap cela sama sekali, juga mereka yang paling salah sekalipun tak ada benarnya sama sekali.

Atau bisa jadi, diam adalah pilihan yang tak ada dalam daftar orang-orang yang akan kaumasukkan di surgamu nanti. Semoga ada pengecualian, untuk orang-orang yang memilih diam, tuhan, lau kaumasukkan golongan ini ke dalam surgamu kelak.

Sedangkan saya memilih diam, sebab, apa-apa yang saya ketahui hanya sedikit sekali. Sangat sedikit sekali ketimbang harus bersuara menjadi orang yang paling benar, orang yang menghakimi, sebagaimana banyak orang mengutip jargon sanasini yang tak jelas lagi muasalnya, sumbernya, rohnya, penciptanya, otentiknya, fasihnya dan sebagainya.

Padahal, bukankah kau, tuhan, satu, esa, tunggal yang dianut berbagai hamba, domba dan berbagai. Mari kita menikmati kopi ini tuhan, sebelum gelap tiba. Tak usah kaujawab pun tak apa. Mungkin itu pulalah yang membuat kau begitu romantis tuhan, dan bahwa saya masih selalu setia mengajakmu mengobrol di beranda pulau Tarempa gugusan kepulauan Anambas yang maha indah ini


Jakarta—Oktober-2015 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar