Tentang Rumah Bapak
Dulu, masa kanak-kanak di rumah bapak, saya menghitung ada tujuh pohon kelapa, dua belas pohon mangga serta satu buah Pohon Coppeng, Belimbing dan Pohon Jeruk mengitari halaman rumah kami. Saya biasa memanjati pohon-pohon mangga bersama dua saudara laki-laki saya. Bahkan pernah punya rumah pohon pada pohon coppeng. Saban sore, kala bapak pulang waktu itu, bapak yang masih mengendarai mobil Jetstar kerap membawa sisa-sisa makanan dari kantornya dengan dibungkus plastik. Kami anak-anaknya, terutama saya dan dua saudara laki-laki saya, memberikan sisa-sisa makanan itu, kepada hewan-hewan piaraan kami. Begitulah saban hari dari Senin hingga Jumat.
Sisa-sisa makanan itu ialah bekas makan siang pegawai di kantornya di Hadji Kalla. Saya tak ingat, sejak kapan kami memelihara Mei, Boni, Bleki, Chiko dan anak-anaknya. Selain Boni, Chiko, serta Bleki anjing piaraan kami, bapak juga hobi memelihara ayam, burung dan tentu saja ada kolam ikan kecil di bagian depan rumah kami.
Kami berkeluarga muslim, yang saban sore menjelang magrib, saya dan dua saudara laki-laki saya bernama Ipoel dan Andi, sehabis bermain bola di lapangan samping rumah-kini dibanguni hotel bernama Hotel Adhyaksa, kerap ke masjid yang terletak di jalan Bau Mangga.
Sore hari, ialah masa-masa paling menyenangkan. Kala itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kerap mendengar para pejalan kaki berlarian dikejar-kejar anjing piaraan kami. Siapa lagi kalau bukan anjing kami yang menggonggong mengancam para pejalan kaki hingga pengendara motor dan mobil. Saya masih ingat, Mei dan Chiko ialah anjing tertua kami, anjing pejantan yang tangguh melindungi rumah bapak.
Dahulu, tak ada yang berani melewati rumah kami, karena kerap dikejar anjing piaraan kami. kalau toh lewat, itu berarti para pejalan kaki sedang nekat-nekatnya. Tak jarang mereka memanggil saya yang kebetulan sedang bermain di halaman rumah, atau adik saya Andi maupun kakak saya, sekadar minta ditemani lewat didepan rumah karena mereka kerap takut. Jangankan takut, mendengar suara gongongan Mei, anjing tertua kami saja sudah bikin para pejalan kaki ciut nyali lewat depan rumah.
Di Kompleks Adhyaksa, keluarga kami, cukup dikenal. Sebab, rumah di Jalan Adhyaksa I No 8 ini, paling rindang diantara rumah-rumah lainnya di lorong Jalan Adhyaksa I. Selain itu, di rumah bapak, kami berdelapan, termasuk ibu-bapak serta enam saudara saya juga tinggal bersama saudara sepupu yang berasal dari kampung bapak asal Pinrang. Sepupu kami tinggal berdampingan di rumah panggung samping rumah batu, rumah kami berdelapan.
Kami bapak-ibu dan saudara saya tinggal di rumah batu, sedangkan sepupu kami, tinggal di rumah kayu. Kami menyebutnya rumah kayu. Ini ialah rumah panggung khas bugis. Sehingga, keluarga bapak juga akrab dikenal sebagai keluarga paling ramai. Ada sekitar lima saudara sepupu kami tinggl di rumah panggung ini.
Rumah bapak berbatasan langsung dengan Kompleks Asindo Indah. Asindo Indah hanya berbatas seng setinggi dua meter. Pada masa awal tahun 1980-an, sebelum pengembang Asindo Indah masuk, lahan Asindo Indah hanya berupa petak-petak sawah. Pada petak sawah itu, ada banyak ikan gabus hingga ikan balebalang.
Dahulu juga, Jalan Adhyaksa merupakan kompleks perumahan Kejaksaan. Di kompleks ini, memang dominan dihuni para bapak-bapak dengan profesi sebagai Jaksa maupun pensiunan jaksa. Tapi tak seluruhnya berprofesi jaksa. Saya masih ingat, sewaktu, Pak Nur Akil (almarhum) yang kerap kami panggil dengan sebutan Pak Camat, juga tinggal di pertengahan jalan Adhyaksa, sekitar 40 meter dari rumah bapak.
Ada juga Pak Idris, seorang pensiunan Jaksa yang tinggal di Jalan Adhyaksa II. Oh ya, Pak Idris ini, punya anak seorang pembesar partai politik, namanya Arfandy Idris. Dulu, waktu di Makassar, saya kerap mendengarnya sebagai anggota DPRD dari partai Golkar.
Kompleks Adhyaksa punya tiga masjid besar diantaranya Masjid Nurul Qiraah di jal;an Adhyaksa raya, Masjid Muhjizat di jalan Adhyaksa IV, serta belakangan ada Masjid Nurul Amirullah yang dibangun bekas Bupati, bapak Amirullah di jalan Bau Mangga.
Saya tinggal di Adhyaksa I No 8, rumah bapak, kira-kira pertengahan tahun 1985 hingga akhir tahun 2012, kerap dan selalu masih merindu tempat Bapak. Kini rumah bapak, ditinggali kakak saya, dan mengubahnya sebagian menjadi warung pojok adhyaksa atau Kepo.
Di rumah ini, ada banyak kenangan yang membahagiakan. Rumah ini, sepertinya kerap diramaikan dengan kebahagiaan.
selamat ber-Kepo ria di jalan Adhyaksa I No 8. Suatu waktu, saya pasti ke rumah Bapak..
----Tangerang, ketika merindu rumah Bapak
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..