Memasyarakatkan Suku Anak Dalam Provinsi Jambi
Tiga orang siswa kelas tiga berlarian kecil mengitari halaman sekolah. Ketiganya tidak berseragam sekolah lengkap, tapi saban pagi kerap mengikuti pelajaran di sekolah yang masih alakadarnya. Ruangan kelas hanya satu bilik saja. Itupun sudah menjadi ruang guru bagi dua orang guru yang mengajar di sekolah alam itu. Nama sekolah itu Sekolah Alam Putri Tijah dengan jumlah murid tak sampai tigapuluh orang siswa. Letaknya sekolah alam ini cukup jauh tepatnya beradadi Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi atau sekitar lima sampai enam jam ditempuh dari Kota Jambi.
Sekolah alam ini hanya terdiri dari satu ruangan saja, dengan jumlah murid paling banyak mencapai sekitar limapuluh siswa berasal dari suku anak dalam Jambi. Suku Anak Dalam atau akrab dikenal sebagai Anak Rimba, merupakan salah satu komunitas adat terpencil yang ada di Provinsi Jambi. Anak Rimba atau Orang Rimbo tersebar diberbagai lokasi berbeda di hutan-hutan Jambi. Mereka terdiri atas kelompok berbeda-beda dipimpin oleh seorang perwakilan yang disebut sebagai Tumenggung. Salah satu kelompok yang bisa ditemui ialah di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun dibawah Tumenggung Segrip. Sekolah Alam Putri Tijah belum lama berdiri atau baru sekitar dua tahun aktif dengan jumlah guru mengajar hanya sebanyak dua orang. Sekolah Alam ini dibangun sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan perkebunan sawit PT Sari Aditya Loka bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat. Juni Selviana, salah seorang guru yang baru setahun mengajar di sekolah alam Putri Tijah menuturkan tantangan-tantangan yang dihadapi ketika harus mengajar dengan fasilitas sekolah yang seadanya. "Sekolah ini hanya punya satu ruangan mengajar saja. Siswa-siswa yang diajar pun disamaratakan minimal mereka diajarkan bisa membaca maupun menulis dengan fasilitas seadanya," kata dia, akhir Maret lalu.
Sekolah ini tidak memiliki bangku sekolah, sehingga para siswa hanya bisa belajar secara lesehan. Meja kecil disiapkan sekitar enam meja di atasnya peralatan menulis disiapkan oleh siswa-siswi sekolah. "Kalau mereka sudah bisa membaca dan menulis saja sudah luar biasa. Itu target kami, artinya kalau bisa membaca atau menulis serta berhitung siswa-siswi diharapkan bisa diterima di masyarakat, sehingga mampu bersosialisasi," ucapnya.
Guru sekolah Ibu Juni sapaannya bukanlah asli Jambi. Dia juga seorang pendatang yang ikut suami bertugas di perusahaan sawit yang berlokasi di Kabupaten Sarolangun. Dia mengatakan, bahwa daya tangkap suku anak dalam atau Anak Rimbo, terkesan lambat menangkap mata pelajaran. Namun, bukan berarti mereka, para siswa sekolah alam tersebut, tidak antusias mengikuti pelajaran. "Ada seninya juga, karena anak-anak di sini senang bermain, ya kita memadukan permainan dengan memasukkan unsur-unsur pengetahuan dasar. Kendalanya cuma satu, sebagai seorang pendidik memang dibutuhkan kesabaran," pungkasnya.
Direktur Operational Area PT Astra Agro Lestari induk usaha PT Sari Aditya Loka, Bambang Dwi Cahyono mengatakan, Anak Rimbo harus diberdayakan sejak dini. Menurutnya, setiap perusahaan sawit yang aktif di lokasi hutan yang tak jauh dari aktivitas anak Rimbo seharusnya saling berpartisipasi. Dia beralasan, Anak Rimbo berasal dari hutan-hutan yang ada di Jambi yang tak jauh dari wilayah operasi kebun sawit milik perusahaan. "Ini harus diberdayakan. Salah satunya dengan memberikan pendidikan yang layak. ini perlu supaya mereka bisa diterima secara sosial oleh masyarakat setempat," ucapnya. Bambang menjelaskan bahwa Anak Rimbo bukanlah pantangan bagi sejumlah perusahaan sawit yang berlokasi di sekitar Kabupaten Sarolangun. Justru sebaliknya, menurut dia Anak Rimbo harus diberdayakan. "Memang tantangannya masih ada. Terutama memberikan pengetahuan agar anak Rimbo bisa diterima dan bersosialisasi di tengah masyarakat. Tapi bagaimanapun, perlahan, kita terus memberikan pemahaman. Namun, hal itu membutuhkan dukungan semua pihak," pungkasnya.
Peneliti sekaligus Akademisi dari Universitas Jambi, Idris Sardi mengungkapkan, Anak Rimbo sudah ada sejak masa nenek moyang. Hal itu bisa diperhatikan melalui aktivitas melangun atau hidup berpindah-pindah memanfaatkan ketersediaan alam sebagai kebutuhan hidup. "Belum lagi cara hidup mereka yang primitif, jauh dari kesan perkotaan. Kendala memasyarakatkan suku Anak dalam ini ada pada kebudayaan melangun atau cara hidup nomaden. Mereka kerap berpindah-pindah karena alasan kehabisan bahan makanan di alam, termasuk budaya mistis lain yang mengharuskan mereka berpindah. Misalnya, ketika ada anggota keluarga meninggal, mereka diharuskan meninggalkan tempat mereka, mencari tempat baru," ucapnya.
Dalam kurun waktu tertentu, Anak Rimbo paling lama menempati suatu wilayah hutan paling lama tiga sampai enam bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke tempat lain. Kendalanya, ketika pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan sawit setempat, memberikan bantuan berupa hunian permanen, malah tak ditinggali oleh Anak Rimbo. "Sebaliknya malah ada yang dijual untuk mendapatkan uang, membeli kebutuhan seperti sepeda motor dan kebutuhan lain," ujarnya.
Perwakilan Tumenggung Segrip dari kelompok Kedundung Muda suku anak dalam, Besmen Mangku Paku Alam memberikan solusi bahwa, dibutuhkan kawasan khusus yang tidak memungkinkan orang luar memasuki wilayah suku anak dalam. Kawasan khusus tersebut bisa berupa tanah adat atau wilayah otonom yang hanya ditempati oleh Anak Rimbo. "Yang dibutuhkan suku anak dalam ini, hanya kawasan khusus atau area khusus yang tidak boleh dimasuki orang luar. Kawasan khusus itu, berlokasi di hutan-hutan yang bisa dikelola Anak Rimbo. Itu saja yang kami butuhkan," katanya.
Solusi dari Tumenggung Besmen Pangku Alam itu tentu bisa dicermati dan menjadi perhatian bagi perusahaan sawit setempat, terutama bagi pemerintah daerah jika ingin serius menata kelestarian suku anak dalam di pedalaman Provinsi Jambi, terutama supaya Suku Anak Dalam atau Anak Rimbo agar bisa hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.
Ada banyak contoh bagaimana komunitas adat bisa dipertahankan dan hidup berdampingan dengan masyarakat perkotaan. Beberapa diantaranya, Suku-suku Badui di Provinsi Banten atau Suku Kajang di pedalaman Sulawesi Selatan.
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..