bulan-bulan yang Terlewati
--Hong Kong
Waktu-waktu yang ingkar selama berbulan-bulan tak mengabari khabar, tuhan. Apa khabar. Pertengahan Januari 2015, kemarin (versi lampau), saya berkesempatan menginjak kota Hong Kong untuk sebuah tugas kantor selama empat hari. Menjejakkan kaki di Hong Kong, saya punya kesan sendiri dan mencatat sepintas tentang kota yang berada di bawah naungan Negara Tiongkok ini. Tempat saya bekerja, diundang menghadiri pertemuan semacam forum pembiayaan keuangan negara-negara Asia. Undangannya dari Hong Kong Trade Development Council atau HKTDC. Lembaga ini semacam dewan promosi perdagangan Hong Kong.
Saya berangkat shubuh hari menuju Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, dari rumah kontrakan juga di daerah Tangerang. Tiket keberangkatan saya, telah dikirm jauh sejak dua minggu sebelum keberangkatan melalui email atau e-ticket. Keberangkatan ini tanpa asap rokok. tentu saja saya bercanda, mana ada keberangkatan pesawat dengan asap rokok, kecuali punya pesawat bombardier atau legacy sendiri sekelas jet.
Saya tiba, satu jam sebelum keberangkatan. Di bandara tepatnya terminal dua keberangkatan luar negeri, saya dijadwalkan naik pesawat Cathay Pacific (CP). Hohoho, ini kali pertama saya naik pesawat berbadan lebar ini. Sebelumnya brand CP waktu SMP kerap saya lihat di tivi saja.
Di terminal keberangkatan, saya bertemu dengan kawan lain yang ternyata turut diundang HKTDC. Tanpa basa-basi kami bergegas mencari tahu jadwal keberangkatan setelah melalui proses ceck-in. Undangan ke Hong Kong ini tanpa pemandu, sebagaimana keberangkatan untuk undangan kantor, yang lazim didampingi oleh pihak pengundang.
Kurang lebih ada sekitar lima jam perjalanan, dari Jakarta ke Bandara Intersional Hong Kong. Di sinilah, lagi-lagi kemampuan bahasa inggris saya diuji lagi. Padahal saya warga Makassar cuma bermukim di Jakarta dan asli Indonesia, aseli Indonesa meski ada turunan China Hokkian dari buyut mamak, muslim Tionghoa pertama Makassar.
Di atas pesawat, pramugari menggunakan dua bahasa, Inggris dialek Hong Kong, dan tentu saja Mandarin. Bahasa Inggris orang Tiongkok atau Hong Kong memang sulit. dialeknya cukup sulit menurut saya. Seperti bahasa Inggris tapi ngomong Mandarin. Hahahaa. Setibanya di Bandara Hong Kong, saya dan seorang kawan rada-rada khawatir, sebab, tak ada penjemputan sebagai tamu undangan seperti lazimnya.
Tapi beruntung, sebelum keberangkatan kami dibekali melalui email tentang jadwal acara dan rute perjalanan sampai ke hotel. Ternyata, kota besar seperti Hong Kong memang pada akhirnya tidak akan pernah bisa membuat orang tersesat. Sebab, tempat tujuan seperti hotel-hotel besar atau minimal bintang empat menyediakan bus gratis setiap saat.
Jadilah perjalanan itu seperti mereka-reka dengan bertanya sana-sini kepada petugas bandara. Alhamdulillah kami menemukan bus yang akan menampung kami ke hotel tempat tujuan. Hotel tempat saya bermalam kalau tak salah namanya hotelnya Empire Hotel, sekitar satu jam perjalanan dari bandara. Letaknya di 33 Hennessy Road, Wan Chai. Wan Chai, lagi-lagi kalau tak salah merupakan salah satu distrik di Hong Kong seperti halnya distrik lain, KowLoon yang terkenal itu (menebak).
Saya dan kawan naik bus gratis, hingga akhirnya bertemu dengan teman-teman asal Inggris memenuhi undangan yang sama. Setibanya di Hotel, kami berdua check in, namun bikin waswas. Sebab, setiap pelanggan hotel diwajibkan menyetor deposit HKD 500 atau 500 dolar Hong Kong. Satu dolar Hong Kong kurang lebih setara Rp1.500. Beruntung sewaktu di bandara Jakarta saya sudah menukar duit saya ke mata uang Hong Kong. Padahal, di dompet tak ada kartu kredit, hampir mampus dibuatnya, karena lagi-lagi duit Hong kong saya hampir tak tersisa atau cuman mampu beli roti. hahahayyy (nangis darah).
Manusia-manusia Hong Kong pada intinya lebih kejam dari manusia tiongkok campuran di tanah air, seperti saya. Tak murah senyum, seperti kita di Indonesia, malas basa-basi sekadar membuka percakapan. Individualistis, begitu kesannya. Bahkan, ketika mengunjungi pusat perbelanjaan murah di Mongkook swaktu bertemu dengan orang kaya Indonesia yang doyan belanja di sana, juga mengucapkan hal yang sama.
Padahal, orang indonesia ini yang saya temui, juga bermata sipit, tapi jauh dari mirip dengan saya yang sipit namun hitam berlegam. "Aduh mas, orang-orang di sini, tidak ramah. malah cuek, bedalah dengan kita indonesia, murah senyum dan banyak ramah dengan tamu dari luar. Betul-betul IndonesiaTanah air beta," katanya.
Tanah air beta, saya ketawa lagi. Saya pikir kenapa juga mau belanja sampai ke Hong Kong kalau orang-orangnya tak ramah. Itu berarti kita, orang Indonesia menyadari, bahwa manusia Indonesia memang lebih maju sedikit dari manusia-manusia Hong Kong.
Hong Kong jelas hebat dari sisi infrastruktur, gedung tinggi bertebaran disetiap sudut. Di Kota ini hampir tak ada ruang menikmati keindahan ciptaanmu tuhan, selain gedung cakar langit buatan manusia.
Bayangkan, kalau kota Makassar (ngak usah bandingin Jakarta, yang sedang menuju ke sana) sedemikian maju seperti itu, barangkali individualistis akan hidup mentereng mengalahkan yang namanya gotong-royong, cangkul-mencangkul bikin jembatan, kerja-bakti bersih selokan rame-rame. Ingat, rame-rame bung tanpa derajat sosial, dengan bergelas-gelas air mineral gratis dan teh atau kadang-kadang sirup berwarna tak sebanding dengan harga air mineral Hong Kong berkisar HKD10 atau 10 dolar Hong Kong. Bayangkan, kalau harga air mineral saja seharga begitu, bagaimana dengan minuman berwarna lainnya.
Hikss..
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..