Menyelamatkan Kapal Kayu di Sunda Kelapa

Dua jam lewat setelah matahari berada di tengah yang terik, Pelabuhan Sunda Kelapa masih saja membakar kulit. Puluhan kapal masih bersandar di pelabuhan dengan dermaga sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Kapal-kapal didominasi kapal kayu sedang bersandar. Lima orang anak buah kapal (ABK) menarik baling-baling kapal memanfaatkan tongkang yang ada di atas kapal kayu. Kelima orang itu sedang merawat kapal.



Nama kapal ini, Kapal Rahim Jaya Abadi. Bobotnya bisa mengangkut beban hingga 950 ton. Kapal Rahim Jaya Abadi telah sandar kurang lebih seminggu di Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal ini sudah mengarungi rutenya sejak beberapa minggu sebelumnya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, kapal kayu atau akrab dikenal sebagai usaha pelayaran rakyat (Pelra) menjadi sumber pendapatan bagi para pemilik kapal kayu dari generasi ke generasi. 




Pemilik Kapal Rahim Jaya Abadi, Haji Abdul Rahim misalnya, generasi keempat yang diwariskan turun-temurun dari buyutnya. Haji Abdul Rahim asal Bone, Sulawesi Selatan. usianya kira-kira sudah berada di atas 65 tahun. Ia saat ini sedang proses mewariskan usahanya kepada anaknya yang lelaki. "Dulu, orang punya kapal jenis ini di Sulawesi Selatan dikenal sebagai saudagar. Pedagang atau pengusaha dulu di kalangan Bugis-Makassar menganggap memiliki sebuah kapal sebuah prestise," katanya.

Kapal kayu terbuat dari beraneka jenis kayu. Tapi umumnya, orang membuat kapal kayu di Kalimantan, sebab kayu jenis terbaik ada di sana. Jenis kayu ulin atau kayu besi menjadi jenis kayu kelas pertama dalam bahan pembuatan kapal. Jika kapal dominan menggunakan jenis kayu ulin, maka bisa dipastikan bahwa kapal tersebut masuk kategori kelas satu dengan masa penggunaan bisa mencapai usia 30 tahun. 



Selain kayu ulin, ada juga kayu kelas dua seperti kayu Jati, Bungur dan Merbau. Menurut Haji Rahim, selain kayu ulin, kayu dibawahnya jelas masuk kategori yang berbeda. Membuat satu kapal kayu berbobot 500 hingga 1000 ton harganya berkisar Rp3 hingga Rp6 miliar. Pembuatannya pun tidak main-main, bagi Haji Rahim, ia tahu betul siapa pembuat kayu paling mahir di Sulawesi Selatan. "Paling bagus tukang kayunya itu kalau kami di Orang Bugis, selalu memakai tukang kayu dari Kampung Ara Kabupaten Bulukumba," tukas Haji Rahim.

Haji Abdul Rahim
Tapi sejak tahun 1999, pembuatan kapal kayu terus menyusut. larangan penebangan hutan di Kalimantan, termasuk larangan membawa keluar hasil kayu dari Kalimantan, menggerus produksi kapal kayu dari tahun ke tahun. Mau tak mau, jika ingin membuat satu kapal kayu berkualitas bagus, tukang kayu dikirim ke Kalimantan. Itu pun tidak gampang, karena urusan kayu akan selalu berbelit dengan kepolisian. 




"Ya kami pasrah saja. Mau bagaimana lagi, padahal kalau mau murah bikin kapal, pemerintah harus cabut larangan membawa keluar kayu dari Kalimantan. Sekarang, kalau mau bikin kapal kayu, harus pikir-pikir, karena ongkosnya mahal," Ucap Haji Rahim, jelas terlihat kecewa, tangannya telapaknya diangkat sambil memukul pelan meja di sekretariatnya.

Haji Rahim ialah Ketua Organisasi Pelayaran Rakyat (Pelra). Sekretariat atau kantor pusat organisasi ini tidak jauh dari dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Haji Rahim membandingkan, membuat kapal kayu tidak membutuhkan banyak bahan baku kayu. Itu jika dibandingkan kayu-kayu ilegal yang keluar dari Kalimantan. "Seribu kubik kayu ulin misalnya, sudah bisa bikin dua kapal kayu berbobot rata-rata hampir seribu ton. Kalau lihat di Jawa Timur, atau tepatnya di Pelabuhan Gresik, coba liat berapa ratus ribu kubik bahkan ada yang jutaan kubik itu kayu yang keluar. Beratus-ratus ribu, kayunya dari Kalimantan. Itu bagaimana bisa keluar. Apakah itu legal?" jelas Haji Rahim.

Semua tergantung pemerintah, begitu kata Haji Rahim. Di sisi lain, ia sudah lelah berurusan dengan pemerintah. Sudah berkali-kali Haji Rahim organisasi Pelra bermohon supaya aturan mengenai larangan menebang dan membawa hasil kayu keluar Kalimantan dicabut. "Tapi ya tidak usahlah dipikirkan. Sudah capek kita berurusan dengan pemerintah. Mau bagaimana lagi, kalau kita biarlah rejeki dan hukuman itu persoalan ada yang mengatur. Ya pasrah saja," kata dia.

Masih banyak persoalan lain yang menghambat perkembangan usaha pelayaran rakyat ini. Selain produksi kapal kayu terus menyusut dari tahun ke tahun, masalah lain ialah, pengakuan pemerintah terhadap keberadaan jenis kapal ini. Belum adanya standarisasi kapal yang diakui pemerintah membuat usaha pelayaran ini berjalan seadanya. Misalnya, pengklasifikasian kapal. Setidaknya, jika kapal kayu diakui sebagai kapal pengangkut logistik, atau kapal pengangkut penumpang, syaratnya diwajibkan mendapatkan sertifikasi dari Biro Klasfikasi Kapal. Namun, pemerintah terkesan masih menganaktirikan kapal kayu. Sebab prioritas standarisasi kapal masih ada pada kapal besi.

Sementara untuk membuat satu kapal besi berukuran 2000 hingga 5000 ton membutuhkan duit sekitar Rp25 miliar. Kalangan usaha Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia atau Indonesia National Shipowner' Association pernah mengusulkan keberadaan kapal Pelra diakui. Caranya dengan membuat standar berdasarkan klasifikasi kapal. Selain itu, dari sisi keamanan kapal dibuatkan jaminan dengan didaftakan kepada asuransi, termasuk menambah kenyamanan pada kapal kayu bagi angkutan penumpang.

Namun, Bagi Haji Rahim, langkah tersebut sudah pernah dilakukan dan berusaha diwujudkan, namun lagi-lagi kandas di birokrasi pemerintah. "Kami harus bermohon ke Kepolisian, ke Bappenas belum lagi ke Kehutanan. Semua sudah pernah kami lakukan tapi tak ada hasil yang memadai," ujar Haji Rahim.

Jika kondisi seperti sekarang ini berlangsung terus tanpa ada perubahan, diperkirakan usaha pelayaran rakyat akan hilang dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Saat ini jumlah kapal terus menyusut di pelabuhan Sunda Kelapa. Jika lima tahun atau 10 tahun ke belakang kapal kayu masih berjumlah ratusan, kini hanya berjumlah 61 kapal.

Jika Pelabuhan Sunda Kelapa tak lagi menarik bagi usaha pelayaran rakyat, bisa diperkirakan para pengusaha pelayaran rakyat tidak akan lagi menyandarkan kapalnya di dermaga Sunda Kelapa. Sebab, kapal kayu masih sangat dibutuhkan di provinsi maupun kabupaten sebagai pemasok logistik. Infrastruktur pelabuhan di sejumlah provinsi maupun kabupaten yang terpencil, masih jauh dari ketersediaan infrastruktur pelabuhan yang layak. Sebagai catatan, kapal kayu masih bisa bersandar pada kedalaman paling dangkal satu meter. bandingkan dengan kapal dengan tonase 2000 hingga 5000 ton, kedalaman sandar kapal tersebut bisa di atas dua meter.

Selain itu, patut diingat, simbol deklarasi presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK, dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Namun, tidak berarti apa-apa bagi usaha pelayaran rakyat yang dilakoni Haji Rahim dan kawan-kawan. "Ketika presiden dan wakil presiden deklarasi di sini, kita tidak berharap banyak. harapan ada, terutama kalau ada perubahan dan membantu pelayaran rakyat syukur, kalau tidak ada juga tidak apa-apa. Karena, memang tidak ada pembicaraan atau pun maksudnya apa, deklarasi di pelabuhan Sunda kelapa. Tau-tau kapal kami dibiarkan steril semua. Saya saja mau masuk pelabuhan tidak bisa," kata dia.


Punya Kapal Bagai Prestise

Haji Arfah
Dahulu, Pengusaha kain Haji Kalla, Diceritakan HaJi Arafah yang memiliki empat kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, bagai prestise yang tinggi kala itu. Pedagang yang punya kapal, nasibnya lebih baik dibanding pemilik kapal yang menyewakan kapalnya. Maksud Haji Arfah ialah, kalau punya kapal sekalian berdagang, jangan hanya kirim barang. "Kalau Haji Kalla dulu melakukan itu, punya kapal sekalian berdagang. Artinya jangan hanya menyewakan kapal sebagai angkutan logistik saja. Tapi sebisa mungkin berdagang," ucap Haji Arfah

Namun, jika ingin berdagang membawa dagangan dari satu pulau ke pulau lain, membutuhkan dana besar. hal itulah yang dilakukan Haji Kalla menjual barang gangan di pulau lain. Selain berdagang, haji Kalla juga mengembangkan usahanya ke berbagai bidang. "Barangkali itu yang bikin sukses. kalau kita khan kalau mau berdagang harus punya modal besar. Dan sekarang, kalau mau berdagang menggunakan kapal kita juga harus bersaing terutama dengan para pemodal besar. nah, mereka itu pemodal besar, kebanyakan dilakoni warga Tionghoa, kalah bersaing kita karena mereka tahu aksesnya," ujar dia.

Haji Arfah mengungkapkan, saat ini usaha pelayarannya hanya mengandalkan angkutan logistik bahan bangunan semen. Untuk sekali angkut dihitung per ton dengan harga sekitar Rp200 ribu per ton. Sementara, jika kapasitas angkut kapal untuk bobot maksimal 950 ton maka ratusan juta bisa diraih dalam sekali perjalanan. Namun, semuanya akan bergantung jarak. Bagi Haji Arafah, berdagang memanfaatkan kapal dari satu pulau ke pulau lain lebih menguntungkan, terutama pada masa-masa hari raya idul fitri. "Bisa nagkut semua baru jual, mulai dari kebutuhan pakaian baru, aneka jenis bahan makanan dan sebagainya. pokoknya ambil di Kota besar jual di pelosok akan sangat menguntungkan," ujar dia.

Bagi Haji Arfah, masih ada harapan mengangkat usaha pelayaran laut di mata pemerintah. Kapal kayu, menjadi satu-satunya penghubung nusantara hingga ke pulau pelosok. "Harapan kami bisa diakui, toh kalau perlu dikembangkan, caranya diberi kemudahan. Itu saja. Bahkan kami bukan tidak ingin bisa membeli kapal besi, persoalannya berilah kemudahan pendanaan, dan terutama Infrastruktur pelabuhan juga harus bisa terjamin," tutup dia.

Jika itu tercapai, bukan tidak mungkin pelayaran rakyat bisa dianggap, dan disejajarkan dengan istilah Saudagar di kekinian.

Comments

  1. jual kapal second dan pembuatan kapal baru
    hub Andi cp 08777 1803 851

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum pak haji........apakah pak haji mau melayani rute sorong...kami sedang merintis usha
    trimakasih
    subhan
    087865411247

    ReplyDelete

Post a Comment

sekedar jejak..

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar