pengagum yang sembunyi
Hai tuhan yang baik hati. Di bulan yang Ramadhan, penuh berkah ini engkau memberiku seorang kekasih yang tepat dipandang mata dan kusebut ia perempuan hebat. Kusebutlah ia demikian. Hebat, karena perhatiannya luar biasa. Perhatian itu kadangkala memberikan nilai tambah kecantikan yang luarbiasa. Barangkali, kenapa kau memberikan berkah kepada manusia untuk mencintai pasangannya tidak memandang fisik semata saya temukan jawabannya di mata kekasihku ini.
***
Dahulu, semasa saya menginjak usia remaja, ada satu kisah yang sangat terkenang di kepala. Ada seorang perempuan yang dipandang idola di sekolah saya. Secara fisik, umum dipandang cantik, manis, dan saban caturwulan hampir pasti menjadi juara sekolah hingga pastaslah ia menjadi buruan para lelaki di sekolah saya. Tapi, dari sekian lelaki dari kelas jagoan basket hingga juara kelas yang bermobil kala itu, tak ada satupun yang hinggap di hati perempuan itu.
Suatu hari, karena sikapnya yang tak membuka ruang kepada siswa-siswa lelaki yang naksir, siswi perempuan ini menjadi perbincangan di kala guru sedang tak masuk kelas, perbincangan di kantin sekolah hingga perbincangan di dinding tembok pembatas sekolah di kala bolos jam pelajaran.
Namanya, I Made Novianti Gede Agung, ia asli Bali, mungkin pula turunan bangsawan di sana. Panggilannya akrabnya Yanti. Saya satu kelas dengannya. Semasa pulang jam sekolah kami di dalam kelas ada 20 siswa mengikuti kelas tambahan.
Saya masih mengingat dengan baik, Yanti seringkali pulang naik angkot berbarengan dengan dua orang siswasi perempuan dan empat orang siswa lelaki. Salah satunya saya yang beruntung itu, dan seorang karib saya, Mirza Ali serta dua teman lain, Blawu Parangsewu dan Singgih Batubara.
Lantaran jurusan yang kami tuju sama, bisa dibilang hampir setiap hari kami bertujuh berbarengan naik mobil angkot. Berulangkali saya memerhatikan Singgih dan Blawu begitu menonjol mencuri perhatian Yanti.
Baik Singgih dan Blawu, selalu memanfaatkan saya sebagai penghubung untuk mendekati Yanti. Kadang-kadang lewat surat cinta yang diselipkan melalui buku catatan sekolah atau lewat kaset rekaman kata-kata dan alunan gitar dan piano. Maklum, Baik Singgih maupun Blawu cukup dikenal sebagai idola yang pandai bermain musik di kala ada festival musik sekolah.
Blawu, suatu hari karena tak tahan lagi, ia nekat menyatakan cintanya di atas mobil angkot. Pun begitu, dengan Singgih. Ia nekat memainkan gitar sambil bernyanyi di luar kelas dan meenyematkan kata-kata cinta kepada Yanti. Tapi, Yanti masih tak bergeming. Kurang apalagi teman saya dua itu. Saya meramal, barangkali Yanti lama menyimpan kesan yang mendalam kepada satu orang di sekolah saya.
Namanya, Gendur Tambora. Prestasi Gendur dikenal sebagai siswa yang berani. Pernah suatu kali, ia menantang duel kakak kelas terang-terangan di lapangan tempat upacara. Hasilnya, Gendur menang, dan dikenal sebagai jagoan yang punya karisma karena suaranya yang lantang, dan tegas. Pembawaannya tenang, dan doyan berpenampilan anak rimba pecinta gunung-salah satu kelompok yang diidolai siswa perempuan sekolah kami.
Tapi bukan itu, yang membuat saya menduga Yanti menyimpan hatinya diam-diam kepada Gendur. Justru sebabnya, pernah dua liburan caturwulan, saya sering mendapati Yanti malah mendekati Gendur ketika kemping di gunung.
Saya sering merasa iba, melihat mereka berdua di saat kemping, kadangkala, Gendur harus meninggalkan Yanti sendirian berhayal seusai memberikan ceramah singkat tentang nama-nama gunung tertinggi yang ada, atau tentang karakter alam dan agama atau tentang hubungan yang melekat antara agama dan semesta.
Topiknya memang berat, tapi Gendur menguasai materi layaknya seorang pendaki gunung sejati yang memberi siraman pengetahuan kepada awam. Jiwa pendaki memang tertanam dalam diri Gendur. Mungkin pula, karena Orangtua Gendur dikenal sebagai ulama kesohor sehingga terkadang, I Made begitu antusias mencari hubungan antara semesta dan agama.
Ketika perpisahan sekolah, saya meramalkan akan ada peristiwa hebat yang luar biasa. Saat yang ditunggu-tunggu ketika gosip sekolah sudah mengkrucut antara hubungan Yanti dan Gendur.
Blawu, suatu hari karena tak tahan lagi, ia nekat menyatakan cintanya di atas mobil angkot. Pun begitu, dengan Singgih. Ia nekat memainkan gitar sambil bernyanyi di luar kelas dan meenyematkan kata-kata cinta kepada Yanti. Tapi, Yanti masih tak bergeming. Kurang apalagi teman saya dua itu. Saya meramal, barangkali Yanti lama menyimpan kesan yang mendalam kepada satu orang di sekolah saya.
Namanya, Gendur Tambora. Prestasi Gendur dikenal sebagai siswa yang berani. Pernah suatu kali, ia menantang duel kakak kelas terang-terangan di lapangan tempat upacara. Hasilnya, Gendur menang, dan dikenal sebagai jagoan yang punya karisma karena suaranya yang lantang, dan tegas. Pembawaannya tenang, dan doyan berpenampilan anak rimba pecinta gunung-salah satu kelompok yang diidolai siswa perempuan sekolah kami.
Tapi bukan itu, yang membuat saya menduga Yanti menyimpan hatinya diam-diam kepada Gendur. Justru sebabnya, pernah dua liburan caturwulan, saya sering mendapati Yanti malah mendekati Gendur ketika kemping di gunung.
Saya sering merasa iba, melihat mereka berdua di saat kemping, kadangkala, Gendur harus meninggalkan Yanti sendirian berhayal seusai memberikan ceramah singkat tentang nama-nama gunung tertinggi yang ada, atau tentang karakter alam dan agama atau tentang hubungan yang melekat antara agama dan semesta.
Topiknya memang berat, tapi Gendur menguasai materi layaknya seorang pendaki gunung sejati yang memberi siraman pengetahuan kepada awam. Jiwa pendaki memang tertanam dalam diri Gendur. Mungkin pula, karena Orangtua Gendur dikenal sebagai ulama kesohor sehingga terkadang, I Made begitu antusias mencari hubungan antara semesta dan agama.
Ketika perpisahan sekolah, saya meramalkan akan ada peristiwa hebat yang luar biasa. Saat yang ditunggu-tunggu ketika gosip sekolah sudah mengkrucut antara hubungan Yanti dan Gendur.
***
Hari hampir sore, ketika semua siswa sekolah bersiap pulang. Masih seperti biasa, kami bertujuh; saya, Yanti, Mirza, Singgih, Blawu dan dua sahabat Yanti, masih berbarengan pulang naik mobil angkot. Barangkali terakhir kalinya kami pulang berbarengan. Sebab, sore itu adalah hari pengumuman kelulusan di mana kami bertujuh lulus, dan masih pusing akan melanjutkan ke mana.
Tapi sebenarnya bukan itu yang mengganggu pikiran saya, dan dua teman saya Singgih dan Blawu yang dahulu menaksir Yanti. Pertanyaannya, kepada siapa Yanti menambatkan hatinya hingga masa kelulusan sekolah. Ini juga menjadi pertanyaan di antara kami berenam di atas angkot. Kecuali Mirza, sebab ia adalah satusatunya siswa yang paling tak acuh dengan hal begituan. Maklum, Mirza dikenal sebagai siswa yang kalem, pemalu kayak lembu hingga saking kalem dan pemalunya ia bisa dikata tak berani mendekati perempuan.
Mirza, bisa dikatakan orang yang paling baik sedunia. Apapun akan dibantunya, terutama soal urusan menyontek. Sebabnya, Mirza siswa yang paling pandai soal urusan pelajaran berhitung, meski nilai sekolahnya biasa saja, atau tak pernah juara kelas. Barangkali, karena ia terlalu royal membantu untuk urusan jawaban pelajaran berhitung dari pekerjaan rumah, hingga ujian Matematika, Kimia, Fisika dan hitunghitung lainnya di dalam kelas.
Satu lagi. Selain jago soal urusan pelajaran berhitung di kelas, Mirza juga jago soal pelajaran agama. Ia juga dikenal alim di kalangan guru mata pelajaran agama islam kami yang jumlahnya tiga orang. Sebabnya, Mirza saban tahun ikut lomba baca alquran dan tak pernah lepas ibadah yang kadangkala bebarengan bersama guruguru di musholla sekolah, saban jam pulang mulai berbunyi. Itu sebab, kala naik angkot, ia selalu menjadi yang terlambat meski mobil angkot sudah akan berangkat.
Karena seringkali menjadi yang terakhir di kala kami memohon kepada sopir untuk menunggu teman kami itu sebelum berangkat, Mirza pula menjadi penumpang yang jarang kebagian tempat duduk di dalam angkot karena keterbatasan di dalam mobil angkot.
Maklum, di dalam angkot langganan kami itu, ada dua orang lagi penumpang yang sering berbarengan dengan kami bertujuh, yakni Pak Bejo dan Bu Sungkem. Pak Bejo ialah penjual nasi kuning seribuan, sementara Ibu Sungkem adalah penjual es batangan plastik. Saban pulang, keduanya membawa bakul besar tempat dagangan mereka.
Dan di hari terakhir kami bertujuh terakhir kali pulang bareng karena esok hari harus mencari tahu akan lanjut ke mana. Di dalam angkot kami bertujuh sudah lengkap siap berangkat tapi masih minus Bu Sungkem dan Pak Bejo, sementara angkot sudah akan jalan. Penjual nasi kuning seribuan dan penjual es plastik itu, masih tertinggal.
Akhirnya, sopir angkot menyerah dan memutuskan berangkat, meski Mirza berkali-kali memohon untuk menunggu sebentar lagi. Memang, tidak biasanya, Mirza juga datang lebih awal dari kami berenam sebelum Pak Bejo dan Bu Sungkem sudah di atas angkot.
Tidak banyak yang tahu, Mirza seringkali membantu Bu Sungkem dan Pak Bejo jualan. Caranya, ia menjaja jualan milik pak Bejo dan Bu Sungkem di belakang sekolah sehabis pulang di sebuah sekolah taman kanak-kanak. Sore itu, Pak Bejo maupun Bu Sungkem mengalah tak ingin mengganggu Mirza, sebabnya, Mirza selalu dicemoh, oleh kami bertiga termasuk saya, Singgih dan Blawu, pun dihadapan Pak Bejo dan Bu Sungkem. Mirza saban kali terlambat, sebabnya, bermaksud memberikan tempat kepada Bu Sungkem dan Pak Bejo serta jualannya muat di atas angkot.
Tidak banyak yang tahu memang, dan barangkali hanya Yanti yang mengetahuinya seorang, lantaran Yanti punya seorang adik lelaki yang dijemput orangtuanya di taman kanak itu. Suatu kali, Yanti bercerita, pernah melihat Mirza jualan. Dan barangkali sebab itu pula, diam-diam Yanti menyimpan hati kepada Mirza yang baik itu.
Begitulah tuhan, cara pandang yang kauberikan kepada kami dengan tidak melihat dari soal fisik semata sebagaimana Mirza yang penampilannya biasa saja, namun sikap dan keikhlasan memberikan nilai tambah kecantikan/kegagahan di hadapan pengagumnya, I Made Novianti.
Kisah tentang pernyataan Yanti, memang tak pernah sampai ke telinga Mirza, namun tersebar luas di kalangan sekolah kami, hingga kami lulus dan hampir tak pernah berjumpa lagi. Dan saya masih menyimpan hikmah tentang masa lalu itu.
Hari hampir sore, ketika semua siswa sekolah bersiap pulang. Masih seperti biasa, kami bertujuh; saya, Yanti, Mirza, Singgih, Blawu dan dua sahabat Yanti, masih berbarengan pulang naik mobil angkot. Barangkali terakhir kalinya kami pulang berbarengan. Sebab, sore itu adalah hari pengumuman kelulusan di mana kami bertujuh lulus, dan masih pusing akan melanjutkan ke mana.
Tapi sebenarnya bukan itu yang mengganggu pikiran saya, dan dua teman saya Singgih dan Blawu yang dahulu menaksir Yanti. Pertanyaannya, kepada siapa Yanti menambatkan hatinya hingga masa kelulusan sekolah. Ini juga menjadi pertanyaan di antara kami berenam di atas angkot. Kecuali Mirza, sebab ia adalah satusatunya siswa yang paling tak acuh dengan hal begituan. Maklum, Mirza dikenal sebagai siswa yang kalem, pemalu kayak lembu hingga saking kalem dan pemalunya ia bisa dikata tak berani mendekati perempuan.
Mirza, bisa dikatakan orang yang paling baik sedunia. Apapun akan dibantunya, terutama soal urusan menyontek. Sebabnya, Mirza siswa yang paling pandai soal urusan pelajaran berhitung, meski nilai sekolahnya biasa saja, atau tak pernah juara kelas. Barangkali, karena ia terlalu royal membantu untuk urusan jawaban pelajaran berhitung dari pekerjaan rumah, hingga ujian Matematika, Kimia, Fisika dan hitunghitung lainnya di dalam kelas.
Satu lagi. Selain jago soal urusan pelajaran berhitung di kelas, Mirza juga jago soal pelajaran agama. Ia juga dikenal alim di kalangan guru mata pelajaran agama islam kami yang jumlahnya tiga orang. Sebabnya, Mirza saban tahun ikut lomba baca alquran dan tak pernah lepas ibadah yang kadangkala bebarengan bersama guruguru di musholla sekolah, saban jam pulang mulai berbunyi. Itu sebab, kala naik angkot, ia selalu menjadi yang terlambat meski mobil angkot sudah akan berangkat.
Karena seringkali menjadi yang terakhir di kala kami memohon kepada sopir untuk menunggu teman kami itu sebelum berangkat, Mirza pula menjadi penumpang yang jarang kebagian tempat duduk di dalam angkot karena keterbatasan di dalam mobil angkot.
Maklum, di dalam angkot langganan kami itu, ada dua orang lagi penumpang yang sering berbarengan dengan kami bertujuh, yakni Pak Bejo dan Bu Sungkem. Pak Bejo ialah penjual nasi kuning seribuan, sementara Ibu Sungkem adalah penjual es batangan plastik. Saban pulang, keduanya membawa bakul besar tempat dagangan mereka.
Dan di hari terakhir kami bertujuh terakhir kali pulang bareng karena esok hari harus mencari tahu akan lanjut ke mana. Di dalam angkot kami bertujuh sudah lengkap siap berangkat tapi masih minus Bu Sungkem dan Pak Bejo, sementara angkot sudah akan jalan. Penjual nasi kuning seribuan dan penjual es plastik itu, masih tertinggal.
Akhirnya, sopir angkot menyerah dan memutuskan berangkat, meski Mirza berkali-kali memohon untuk menunggu sebentar lagi. Memang, tidak biasanya, Mirza juga datang lebih awal dari kami berenam sebelum Pak Bejo dan Bu Sungkem sudah di atas angkot.
Tidak banyak yang tahu, Mirza seringkali membantu Bu Sungkem dan Pak Bejo jualan. Caranya, ia menjaja jualan milik pak Bejo dan Bu Sungkem di belakang sekolah sehabis pulang di sebuah sekolah taman kanak-kanak. Sore itu, Pak Bejo maupun Bu Sungkem mengalah tak ingin mengganggu Mirza, sebabnya, Mirza selalu dicemoh, oleh kami bertiga termasuk saya, Singgih dan Blawu, pun dihadapan Pak Bejo dan Bu Sungkem. Mirza saban kali terlambat, sebabnya, bermaksud memberikan tempat kepada Bu Sungkem dan Pak Bejo serta jualannya muat di atas angkot.
Tidak banyak yang tahu memang, dan barangkali hanya Yanti yang mengetahuinya seorang, lantaran Yanti punya seorang adik lelaki yang dijemput orangtuanya di taman kanak itu. Suatu kali, Yanti bercerita, pernah melihat Mirza jualan. Dan barangkali sebab itu pula, diam-diam Yanti menyimpan hati kepada Mirza yang baik itu.
Begitulah tuhan, cara pandang yang kauberikan kepada kami dengan tidak melihat dari soal fisik semata sebagaimana Mirza yang penampilannya biasa saja, namun sikap dan keikhlasan memberikan nilai tambah kecantikan/kegagahan di hadapan pengagumnya, I Made Novianti.
Kisah tentang pernyataan Yanti, memang tak pernah sampai ke telinga Mirza, namun tersebar luas di kalangan sekolah kami, hingga kami lulus dan hampir tak pernah berjumpa lagi. Dan saya masih menyimpan hikmah tentang masa lalu itu.
Kisah tentang Yanti dan Mirza ini adalah kisah 20 tahun yang lalu. Ada banyak kisah Yanti dan Mirza yang tinggal kenangan karena kisah kasih yang tak bertaut. Saya yakin kisah ini hanya menjadi ingatan-ingatan menyenangkan menjelang tidur.
"Aihhh seandainya dulu saya bilang saja sama dia, kalau saya suka. Mungkin kondisi dan anak-anakku bisa bakal berbeda," ketus Yanti ketika saya menerka-nerka ingatan bahagia sebelum tidurnya dan dia menjauh disamping masih di ranjang yang sama.
Ya, saya pengangum sembunyi dan Yanti, ibu dari anak-anakku.
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..