Sebuah Cerita yang Tak Harus
Tuhan yang baik. Aku punya dua kebaikan yang seharusnya tak perlu kuceritakan kepadamu karena engkau maha mengetahui segala hal di muka bumi ini. Tapi karena tempat ini ialah lahan curahan, tak apalah aku bercerita, supaya kau bisa memberikan cobaan lebih ringan di perjalanan selanjutnya. Sejak dua minggu kemarin aku merencanakan sebuah perjalanan kecil mengelilingi sebuah kampung di Jakarta. Aku sudah mengepak barang bawaan untuk perjalanan waktu itu. Berangkat menuju Stasiun Depok, naik kereta ekonomi. Di atas kereta ekonomi, sungguh, baru kali ini merasa senang, sebab, perjalanan kali ini tak ada beban.
Biasalah. Kau sepertinya lebih tahu, perjalanan dengan beban peliputan sebagai wartawan itu selalu membuat khawatir. Tentu saja, takut telat tiba di lokasi meski pada akhirnya begitulah yang terjadi (telat). "Salatullahsalamullah.. Begini nasib, jadi bujangan, kemanamana, asalkan senang tiada orang yang melarang," suara pengamen bergantian masih tak merisaukanku, pun begitu dengan senggolan para penjaja di atas kereta.
Setibanya di Stasiun Cikini, aku melangkah sangat pelan, lebih lambat dari keseharian mengejar tenggat rutinitas hari senin sampai jumat. Sambil melangkah pelan itu, aku membakar sebatang rokok. Tiga langkah sebelum mencapai tangga turun, sebuah suara terdengar dari seorang ibu tua yang kutaksir usianya sekitar 60 tahun dari dasar tangga. Ia menjerit sangat kesakitan. Brukk!!. Badannya ambruk mencium tanah. "Tolong-tolong dik, ngak kuat aku naik tangga," kata ibu tua itu.
Melihat itu, aku sigap melangkah cepat membantu ibu tua itu. Tangannya, kecapaian membawa dua tas. Satu tas koper, satunya lagi tas ransel serta satu plastik warna putih ukuran 20 centi. Rupanya, badan ibu tua itu tak mampu menahan beban berat tentengan dan yang dipikulnya.
Tak ada orang yang membantu, padahal ramai manusia berlalulalang. Dan aku merelakan menemani dan mengantar ibu tua itu. Kupegang telapak tangannya seperti kupegang tangan ibuku kala sakit tak berdaya. Kupegang telapak tangan ibu tua itu bersama pikulan dan tentengan bawaannya, sekadar kembali meraih ujung tangga menuju loket pembelian karcis. "Ibu kemana ibu. Masih kuat berjalan," kataku.
"Masih nak, ibu ini mau pergi ke stasiun kota nak," jawabnya. Tanpa pikir panjang, aku mengantarnya ke stasiun kota dan menemaninya naik bajaj ke depan pintu rumahnya. "Ibu sudah 60 tahun, tapi badan sudah tak kuat begini. Ya, nasib ya nak," ceritanya begitu kepada saya.
Tapi, saya buru-buru langsung pamit. Tak ingin, berlama-lama di depan pintu rumah ibu tua itu. Ia menyilahkan dengan mengucapkan terimakasih. Aku teringat janji mengunjungi kampung tua sebagaimana rencana. Sekitar empat jam menemani ibu tua itu. Tentu saja, waktu sudah larut, dan sekali lagi, dari berkalikali saya menunda rencana mengunjungi kampung kecil itu tuhan.
Tapi aku senang tuhan, sebab baru kali ini merasa berbuat baik di kota besar macam Jakarta. Esoknya, saya tetap masih senang kepalang karena teringat terus telah merasa berbuat kebajikan. Masalahnya, sangat jarang orang berbuat baik di tengah kota dengan ego yang besar, macam ibukota ini. Esok harinya aku pulang membawa motor malam hari dari stasiun Depok lama menuju rumah.
Di perjalanan pulang, rasa lapar mendera. Aku singgah di warung lapak pinggir jalan. Penjaga lapak itu seorang anak muda berjalan menggunakan tongkat. Kaki kirinya barangkali terluka karena kecelakaan motor. Lengan kanannya begitu jelas karena bekas luka lecet yang juga masih ada. "Apa, mau belanja?" Tanyanya sambil melototi seolah menantang.
Aku membeli dua bungkus indomie dan dua bungkus kecil kacang goreng, semuanya seharga empat ribu rupiah. Duit kurogoh dari saku celana sebesar limapuluhribu rupiah. Kembaliannya kuambil begitu saja tanpa mengecek lagi, dan kumasukkan dalam saku celana. Sesampainya di rumah, aku sudah berencana akan menghubungi kawan perihal rencana kembali mengunjungi kampung kecil di Jakarta. Seperti biasa, saban kali menggantung celana, aku pasti tak pernah lupa mengeluarkan sisa-sisa duit. Anak muda itu lalai mengembalikan uang sisa hasil beli Indomie. Anak muda berkaki pincang itu mengembalikan duit sembilanpuluhenamribu, atau lebih limapuluhribu.
Dan tuhan, selanjutnya kau tahulah apa yang aku lakukan. Apalagi ingatan berbuat baik kepada ibu tua usia 60 tahun itu, juga masih berbekas. Aku bergegas mengendarai motor mengembalikan duit sisa itu, dan anak muda berkaki pincang senang sekali. Dan betul sekali tuhan, anak muda itu bahagia dan begitu cerah wajahnya tak lagi memelototi.
Tuhan yang baik. Dua kisah kecil yang saya ceritakan di atas hanya secuil kebaikan dari banyak kesempatan yang kau berikan. Dan, aku memilih menjalani kebaikan yang secuil itu ketimbang menepati janji-janji yang kurencanakan. Jika janji yang telah kurencanakan itu tak tertepati, pun berdampak pada anggapan orang, tak apalah aku dinilai sombong. Sebab, kau selalu tahu tuhan, ada alasan atau sebuah cerita yang tak harus selalu kita ceritakan. Dan tentu saja, masih ada kisah kebaikan lain yang akan kuceritakan tuhan, barangkali bukan di sini.
*Tapi tuhan, untuk dua cerita kecil di atas, pengecualian. Ini tempat curhat khan tuhan?
----ilustrasi foto saya ambil di ridwanmandar.com
Biasalah. Kau sepertinya lebih tahu, perjalanan dengan beban peliputan sebagai wartawan itu selalu membuat khawatir. Tentu saja, takut telat tiba di lokasi meski pada akhirnya begitulah yang terjadi (telat). "Salatullahsalamullah.. Begini nasib, jadi bujangan, kemanamana, asalkan senang tiada orang yang melarang," suara pengamen bergantian masih tak merisaukanku, pun begitu dengan senggolan para penjaja di atas kereta.
Setibanya di Stasiun Cikini, aku melangkah sangat pelan, lebih lambat dari keseharian mengejar tenggat rutinitas hari senin sampai jumat. Sambil melangkah pelan itu, aku membakar sebatang rokok. Tiga langkah sebelum mencapai tangga turun, sebuah suara terdengar dari seorang ibu tua yang kutaksir usianya sekitar 60 tahun dari dasar tangga. Ia menjerit sangat kesakitan. Brukk!!. Badannya ambruk mencium tanah. "Tolong-tolong dik, ngak kuat aku naik tangga," kata ibu tua itu.
Melihat itu, aku sigap melangkah cepat membantu ibu tua itu. Tangannya, kecapaian membawa dua tas. Satu tas koper, satunya lagi tas ransel serta satu plastik warna putih ukuran 20 centi. Rupanya, badan ibu tua itu tak mampu menahan beban berat tentengan dan yang dipikulnya.
Tak ada orang yang membantu, padahal ramai manusia berlalulalang. Dan aku merelakan menemani dan mengantar ibu tua itu. Kupegang telapak tangannya seperti kupegang tangan ibuku kala sakit tak berdaya. Kupegang telapak tangan ibu tua itu bersama pikulan dan tentengan bawaannya, sekadar kembali meraih ujung tangga menuju loket pembelian karcis. "Ibu kemana ibu. Masih kuat berjalan," kataku.
"Masih nak, ibu ini mau pergi ke stasiun kota nak," jawabnya. Tanpa pikir panjang, aku mengantarnya ke stasiun kota dan menemaninya naik bajaj ke depan pintu rumahnya. "Ibu sudah 60 tahun, tapi badan sudah tak kuat begini. Ya, nasib ya nak," ceritanya begitu kepada saya.
Tapi, saya buru-buru langsung pamit. Tak ingin, berlama-lama di depan pintu rumah ibu tua itu. Ia menyilahkan dengan mengucapkan terimakasih. Aku teringat janji mengunjungi kampung tua sebagaimana rencana. Sekitar empat jam menemani ibu tua itu. Tentu saja, waktu sudah larut, dan sekali lagi, dari berkalikali saya menunda rencana mengunjungi kampung kecil itu tuhan.
Tapi aku senang tuhan, sebab baru kali ini merasa berbuat baik di kota besar macam Jakarta. Esoknya, saya tetap masih senang kepalang karena teringat terus telah merasa berbuat kebajikan. Masalahnya, sangat jarang orang berbuat baik di tengah kota dengan ego yang besar, macam ibukota ini. Esok harinya aku pulang membawa motor malam hari dari stasiun Depok lama menuju rumah.
Di perjalanan pulang, rasa lapar mendera. Aku singgah di warung lapak pinggir jalan. Penjaga lapak itu seorang anak muda berjalan menggunakan tongkat. Kaki kirinya barangkali terluka karena kecelakaan motor. Lengan kanannya begitu jelas karena bekas luka lecet yang juga masih ada. "Apa, mau belanja?" Tanyanya sambil melototi seolah menantang.
Aku membeli dua bungkus indomie dan dua bungkus kecil kacang goreng, semuanya seharga empat ribu rupiah. Duit kurogoh dari saku celana sebesar limapuluhribu rupiah. Kembaliannya kuambil begitu saja tanpa mengecek lagi, dan kumasukkan dalam saku celana. Sesampainya di rumah, aku sudah berencana akan menghubungi kawan perihal rencana kembali mengunjungi kampung kecil di Jakarta. Seperti biasa, saban kali menggantung celana, aku pasti tak pernah lupa mengeluarkan sisa-sisa duit. Anak muda itu lalai mengembalikan uang sisa hasil beli Indomie. Anak muda berkaki pincang itu mengembalikan duit sembilanpuluhenamribu, atau lebih limapuluhribu.
Dan tuhan, selanjutnya kau tahulah apa yang aku lakukan. Apalagi ingatan berbuat baik kepada ibu tua usia 60 tahun itu, juga masih berbekas. Aku bergegas mengendarai motor mengembalikan duit sisa itu, dan anak muda berkaki pincang senang sekali. Dan betul sekali tuhan, anak muda itu bahagia dan begitu cerah wajahnya tak lagi memelototi.
Tuhan yang baik. Dua kisah kecil yang saya ceritakan di atas hanya secuil kebaikan dari banyak kesempatan yang kau berikan. Dan, aku memilih menjalani kebaikan yang secuil itu ketimbang menepati janji-janji yang kurencanakan. Jika janji yang telah kurencanakan itu tak tertepati, pun berdampak pada anggapan orang, tak apalah aku dinilai sombong. Sebab, kau selalu tahu tuhan, ada alasan atau sebuah cerita yang tak harus selalu kita ceritakan. Dan tentu saja, masih ada kisah kebaikan lain yang akan kuceritakan tuhan, barangkali bukan di sini.
*Tapi tuhan, untuk dua cerita kecil di atas, pengecualian. Ini tempat curhat khan tuhan?
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..