Kopi Tak Soal Meracik

Jam tangan baru menunjuk pukul 10 malam. Masih ada waktu satu jam lagi, kereta listrik terakhir tiba di peron dua, waktu Stasiun Gondangdia. Jauh di bawah tangga, dua jalur pejalan kaki bertumpuk para pedagang kaki lima, tukang ojek, dan tukang sampah.

"Halo Pak Andre, Pa Khabar pak, lama tak jumpa ini. Sehat ya pak," seorang calo nyeletuk tiba-tiba. Pak Andre, persis, duduk di samping saya, di lapak terbuka warung kopi dadakan. "Iya nih pak, alhamdulilah baik pak," kata Pak Andre, barangkali, setengah terpaksa menjawab basa-basi calo bertopi itu.

Calo itu menambah basa-basinya. "Gimana nih pak pilkada, milih siapa?" masih dengan terpaksa, Pak Andre menjawab seadanya. "Milih Foke-lah, masih jagoan dia," ucap pak Andre, sembari meneguk kopi, sambil mengalihkan pandangan memainkan jemari pada ponselnya.

Nikmatkah kopi sambil curi dengar perbincangan orang-orang sekitar? Bisa jadi. Saya kalau ditanya begitu, saya akan menjawab nikmat. kopi akan terasa lebih nikmat. Sekadar info, saban kali menikmati secangkir atau segelas kopi, sendok kecil tak pernah lupa saya minta.

Meminta sendok kecil adalah, bagi saya, supaya bisa menikmati kopi lebih panjang dan lama. Saban saya ada banyak waktu, saya bisa menikmati kopi hingga berjam-jam. Jika tidak, dan terbiasa nongkrong di warung yang sama dan telah mengetahui jenis kopinya, saya akan menyeruputnya secepat kilat. Misalnya, jika tenggat waktu bikin berita saya menjelang ajal, pasti, saya menikmatinya tanpa sendok kecil. Tak ada waktu.

Lapak-lapak kopi di Jakarta serba instan. lapak-lapak Kopi Stasiun, Kopi Pasar, Kopi Terminal, dan Kopi Pos Ronda, semuanya serba instan kopi hitam merek Kapal Api. Tentu ada banyak pilihan lainnya, kopi susu instan bersaset dengan aneka merek. Jadi, sekali lagi kopi itu tak melulu soal racik-meracik. Apapun racikannya jika kondisinya tak nyaman, sama saja!

Kopi itu mencerminkan kondisi, atau barangkali bisa juga melambangkan karakter. Karakter yang lamban namun perfectio (sempurna) dalam bertindak. karakter ini tak sepenuhnya benar. Kopi juga bisa melambangkan anda yang pemalas kok. Misalnya. Ada sebuah kedai kopi di Depok namanya Kedai Kopi Kimung. Kedai Kopi ini serupa kafe, 10 tingkat lebih tinggi kelasnya dibanding warung Kopi-kopi terminal dan semacamnya.

Menikmati kopi di tempat ini (Kimung), jujur, terasa nyaman, lantaran racikannya yang pas. Saya terbiasa pesan kopi Kimung panas. kopi ini terasa mirip atau barangkali serupa Kopi Daeng Anas, Dottoro, atau warkop sejenis yang ada di Kota Makassar. Cuma, masalahnya, pelayan tak tahu betul, apa jenis kopi yang dibuatnya. "Ini kopi jawa, campuran kopi robusta," kata pelayan.

Saya tergelitik, dan bertanya dalam hati. "Kopi jawa tetapi campurannya apa?" Masak camnpurannya timbal dan solar, tentu bukan toh! Oh ya, saya memesan satu gelas es kopi dalam bahasa kerennya ice coffee.

Pelayan itu membawa dua gelas. Satu kopi bergelas kecil sudah bercampur susu, satu lagi gelas besar dan sedikit panjang berisi es dan satu sedotan. Cara menikmati kopi ini, saya harus menumpahkan kopi di gelas kecil ke gelas besar, dan saya pun terheran-heran kepada pelayan.

"Mbak, kenapa gelasnya ada dua. Bukankah repot, menuangkan kopi dari gelas satu ke gelas yang lain? kenapa gelasnya tidak satu saja, lalu es-nya dipisahkan dalam tempat yang lebih kecil saja," kata saya kepada pelanggan sebagai penikmat kopi yang, --aduhai sok tahu sekali tentang cara menikmati kopi.

"Oh, ini sudah prosedurnya pak. Ini cara kami menyajikan es kopi racikan khas Kedai Kopi Kimung," kata pelayan itu. Mendapat jawaban seperti itu, tentulah anda bisa menyimpulkan saya adalah penikmat kopi yang bagaimana. | Foto : tunjuksatubintangku.wordpress.com

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar