Sebab Waktu, Saya Begitu Dekat

Seminggu terakhir, betul-betul padat. Sebagai wartawan, saya mengerti, saya sedikit pemalas. Saya punya alasan untuk malas, sebab, setidaknya saya berhak libur. Selama seminggu saya harus mengisi tiga berita mengenai tiga Rubrik di halaman Koran Tempo Makassar. Ketiganya, dengan hari yang berbeda. Rubrik Gaya Hidup-Arsitek setiap rabu, Rubrik Kreativitas, setiap jumat, dan rubrik Dia, setiap sabtu. Ketiga rubrik itu membahas satu halaman penuh. Belum lagi persiapan untuk rubrik Chinatown, yang naik cetak setiap hari senin.

Seperti biasa, saban Sabtu dan Minggu saya memanfaatkan akhir pekan saya. Itu pun, sabtu pekan lalu, saya masih sempat mengunjungi Kabupaten Gowa, Desa Bontolangkasa Selatan, Dusun Borongkanang. Saya merencanakan liputan penenun khas -- lipa' sa'be dari Kabupaten Gowa, untuk rubrik kreativitas yang naik cetak hari Jumat. Penenun dalam bahasa Makassar dikenal dengan sebutan Pattennung.

Perjalanan menuju dusun ini saya tempuh sekitar satu jam, ditemani teman bernama Abba. Abba, adalah sumber saya yang banyak tahu tentang kreativitas Makassar dan daerah lain yang masih bertahan. Saya sempat bertemu dengan Pattennung ini. Namanya, Nurhayati Daeng Rannu, umurnya belum genap 50 tahun.

Persiapan liputan ini menarik. Tapi, karena tenggat (deadline) masih sekitar empat hari, saya urung melanjutkan wawancara panjang saya dengan Ibu Nurhayati. "Saya pamit Ibu, sebisa mungkin saya akan datang lagi bersama fotografer saya, untuk wawancara hari Selasa nanti," janji saya dengan Ibu Nurhayati, oleh warga, biasa dipanggil Daeng Rannu.

Saya kembali pulang ke Makassar, bersama Abba, menempuh perjalanan sekitar satu jam. Oh, saya lupa menyebutkan, kalau Abba menemani saya, berkat kekasihnya, bernama Ani. Dan saya juga lupa menyebutkan kalau kami ke Gowa, bertiga, mengendarai dua motor. Abba dengan Vespa tuanya, membonceng kekasihnya.

Di perjalanan, saya sempat berpisah dengan Abba, tepatnya di pertengahan antara Gowa dan Makassar. Barangkali, Abba singgah sementara, mengisi bensin, dan saya tidak melihatnya. Saya tancap gas, dan kepala saya terasa pusing. "Ini pasti gara-gara belum makan," cetus saya, dalam hati. Sesampai di rumah saya memanfaatkan akhir pekan hari Sabtu dan Ahad, sekadar mengumpulkan tenaga, menyiapkan liputan terdekat saya, hari rabu.

Liputan hari senin, saya menyiapkan bahan liputan untuk rubrik gaya hidup di Koran Tempo Makassar, yang naik cetak hari rabu. Rubrik ini mengenai arsitektur di Makassar. Praktis, saya harus mencari objek liputan, sebagaimana perencanaan redaksi. Cafe The Project, ini, adalah perencanaan saya untuk bahan liputan. Saya mendatangi tempat ini hari senin. Sebenarnya, ini sudah kelewat tenggat, karena harus naik cetak hari rabu.

Tapi sudahlah. yang penting tempatnya dapat, dan pemilik Cafenya mau diwawancarai. Akhirnya, saya bertemu dengan Yasin, masih tampak muda dari saya. ia adalah sipervisor Cafe The Project. "Beres, tinggal ketik," pikiran gampang saya teriak lega dalam hati.

Malam itu juga saya merencanakan mengetiknya. Belum lagi mulai mengetik, saya dihubungi tiba-tiba, via telepon. "Pak Ichsan, maaf, Ibu Bininya sebaiknya diwawancara, beliau mau ketemu dengan bapak hari selasa besok," ucap perempuan mengaku sekretaris Ibu Bini. Saya merasa dongkol dalam hati. Sebab sebenarnya, data saya sudah cukup untuk menulis sebuah cerita, meski saya hanya mewawancarai pegawai Cafe dengan jabatan sipervisor.

Ibu Bini adalah pemilik Cafe The Project. Nama lengkapnya Andi Bini Fitriani Binawan. Usianya 28 tahun. Melalui sekretarisnya, ia meminta saya datang jam sepuluh pagi. Kata sekretarisnya, lebih enak wawancara bertatapan muka. Saya memang meminta waktu jam sepuluh pagi. Sebab saya tahu tenggat saya semakin dekat. Saya memaksa dengan halus, meski sesibuk apapun perempuan muda ini. "Iya pak, ibu sudah oke kan, dia ada waktu jam sepuluh pagi," saya berhasil.

Pukul sepuluh pagi hari selasa, saya sudah berada di Cafe The Project. Saya pesan coffee latte, harganya sekitar Rp 30 ribu. Cafe The Project sebenarnya, cocok untuk kelas menengah atas. Cafe ini kelasnya sama dengan Cafe Black Canyon, atau sekelas Excelso. Lokasinya juga strategis, di Jalan Pengayoman nomor satu.

Sudah pukul sebelas jelang tengah hari. Ibu Bini belum juga datang. Baru sekitar setengah dua belas, saya menerka ibu Bini baru keluar dari mobil kijang kapsul. "Aduh maaf terlambat, saya baru tiba mengantar ibu saya yang sedang umroh," begitu katanya. Wawancara saya selesai setidaknya menjelang pukul satu siang. Saya tahu ini sudah sangat tenggat. Saya bergegas mengetik berita ini. Selesai, hampir pukul tiga jelang sore hari.

Tentu saja, dengan sedikit panik, saya sudah berjanji akan kembali ke Kabupaten Gowa. Saya tancap gas motor saya, dan langsung bergegas ke Dusun Borongkanang. Seperti mau bilang Alhamdulilah ya. Akhirnya saya bertemu dengan Daeng Rannu Pattennung yang sabtu lalu saya kunjungi itu. Bersama Fotografer Hariandi Hafid, setidaknya kami menghabiskan waktu hampir dua jam, sekadar wawancara dan foto. Oh ya, selain daeng rannu, ada juga, Ibu Kartia Daeng Pa'ja, masih kerabat daeng Rannu
Komplit wawancara ini, saya bergegas pulang, sedianya untuk mengetik wawancara yang baru saja selesai. Tapi saya terlalu lelah, setelah pulang dari Gowa.

Saya menundanya, dan berencana melanjutkannya rabu, esok hari. Besoknya, saya bangun, sekitar pukul sepuluh, hampur siang. Belum lagi mulai mengetik, saya ada khabar buruk. Tante saya di Jakarta wafat. Praktis, saya bersama keluarga ikut berduka. Ibu dan kakak saya, harus segera berangkat rabu ini juga.

Tidak nyaman menulis berita, hari itu juga, sebab, tante saya ini, termasuk kerabat dekat keluarga kami. Belum lagi, dua orang anaknya, mereka adalah sepupu saya, dan teman di kampus yang sama, semasa kuliah, empat tahun silam. Tapi, apa yang bisa saya lakukan. Saya hanya berdoa dalam hati, semoga ia tenang di sana.

Sementara waktu terus berjalan, saya memutuskan untuk menyiapkan bahan liputan saya selanjutnya, dan menunda tulisan mengenai daeng Rannu. Saya mengejar, tiga putri sulsel yang cantik-cantik, yang akan naik cetak hari sabtu. Setelah menikmati kopi, dan sedikit merenung seorang diri di warung kopi Dg Anas, Jalan Rumah Sakit Faishal, pukul empat sore, saya sudah grasak-grusuk mencari informasi mengenai tiga putri sulsel ini.

Sekali lagi, saya mendapatkannya, setelah berpikir lebih lama. Ya, saya mendapati nomor ketiha putri sulsel ini, di Dinas Pariwisata. Saya punya kenalan di sana. Namanya, pak Udhien. Dia mengarahkan saya untuk menghubungi orang Fajar. "Karena penyelenggara dikelola Fajar," kata pak Udhien kepada saya. Dan, masih grasak-grusuk, saya menghubungi teman saya, Nyong Ewink. Ewing adalah salah satu wartawan radio Fajar Fm. Sebelumnya, ketiganya memang sempat siaran di radio milik Fajar grup ini. "Hubungi saja ini nomor," kata ewink, lewat pesan pendeknya. Serasa mau berteriak, saya mendapatkannya. Dan, saya meniatkan, menghubungi mereka di malam hari. Ketiga Putri Sulsel itu tentu saja cantik dan manis-manis muda, seperti kelapa muda.

Putri Sulsel itu masing-masing, Andi Tenri Natassa, Fryzcha Vias Manurung, dan Afrianhie Nasir. Saya membuat janji dengan segera, esok harinya, hari kamis. Tenang hati saya setelah membuat janji dengan ketiganya. Janjinya dengan waktu berderet-deret. Jam dua, jam tiga, dan jam empat sore, dengan orang per orang putri-putri itu. Berharap-harap semoga mereka bisa menepati janji, akhirnya usai menghubungi gadis putri-putri cantik itu, saya juga bisa menyelesaikan tulisan mengenai Daeng Rannu yang naik cetak hari Jumat.

Tapi alamak, esoknya, setelah saya bersiap memenuhi janji ketiga putri-pitri itu, ketiganya berhalangan hadir. hanya satu yang berhasil saya wawancarai, Fryzcha Vias Manurung. Itu pun baru bisa, sekitar pukul delapan malam, di rumahnya di jalan Daeng tata 1 Blok 1 Lorong 1 dan nomor 1. "Cuek sajalah, yang penting bisa wawancara," ketus saya, dalam hati.

Malam itu juga, kamis, usai wawancara, saya berharap cemas, karena dua putri lagi belum berhasil saya temui untuk rubrik Dia. Esoknya, mulai pukul sepuluh pagi, saya menghubungi keduanya, via telepon setiap lima belas menit. Begitu-dan begitu seterusnya. Jika tiga kali, telepon saya tidak dijawab, saya mengirim pesan pendek, dengan bersegera janjian. "Harus dapat," pikiran saya memaksa, seolah ingin teriak.
Setiap usaha selalu ada berkah.

Paling tidak, karena tenggat, usaha saya dengan menelepon dan berjanjian lewat pesan pendek, berbuah hasil. Sebelum pukul empat sore, saya tuntas mewawancarai dua putri cantik ini, Andi Tenri Natassa dan Afrianhie Nasir. Wawancara keduanya, tentu saja dengan janjian di sebuah tempat. Kedua wawancara ini selesai sebelum pukul empat sore, hari jumat.

Dua jam tersisa, sebelum malam, saya memanfaatkannya dengan mencari bahan untuk rubrik chinatown. Sebelum pukul enam sore, saat semua berita sudah harus masuk ke redaksi, wawancara saya tuntas. Dan berita saya, keseluruhan tuntas, sebelum pukul delapan malam.

"Lagi-lagi tenggat--lagi-lagi. Tapi, terimakasih tuhan, putaran waktumu masih memberi jalan kepada saya. saya tahu, putaran waktu, adalah seolah-olah kau tuhan, dan saya semakin dekat denganmu, bermain denganmu," begitu doa saya, dalam hati jika sepekan ini, pekerjaan saya tuntas.

"Dan kau tahu tuhan, alasan kenapa saya berhak meliburkan diri di akhir pekan, karena di situlah saya bisa menjadi rakyat, manusia yang betul-betul biasa," begini tanya saya, dalam sebuah mimpi, pernah, di akhir pekan.

Pun, saya berpikir, di akhir pekan, mana bisa saya berbagi seperti ini, sebagai rakyat, manusia yang betul-betul biasa di hadapanmu.

Dan, sewajar-wajar, kenapa tenggat, bagi wartawan, begitu jumawa...

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar