Dua Puluh Tiga Juli Tahun Dua ribu Sebelas

-----Catatan kecil yang tersisa hari ini, setelah sebulan tak mengunjungimu..

Hai, Apakabarmu di sana tuhan. Lama nian kita tak bersua. Banyak hal yang saya mau ceritakan dari sedikit catatan kecil di kepala saya. Kau mungkin lebih tau kalau sebenarnya saya ingin mengadu sedikit tentang banyak hal. Sesuatu yang sedikit itu lebih tepatnya janji-janji yang tertepati. Tentu kau taulah. Saya tak perlu mengumbar kesibukan saya sebagai buruh, sebab kau tuhan tentu saja. Jika nanti tulisan ini begitu banyak artinya, anggap saja itu sebagai harapan, cita-cita atau semacam obat kecewa kepada sesiapa saja.

Oh ya, sebelumnya saya sudah mengumbar sedikit tentang Suku Oewpek atau Hupe--salah satu suku minoritas Tionghoa di Makassar. Mereka sebagaimana kautau adalah tukang gigi yang jumlahnya bisa dihitung jari. Tapi sebagai hamba yang selalu tak menyangka akan ciptaanmu, saya juga mendapati Suku Hakka. Mereka ini adalah salah satu suku dari daerah Kanton di provinsi Kwantong Tiongkok. Saya juga baru tau kalau ternyata Suku dominan Tiongkok Hokkian dan Kanton memiliki banyak ragam.

Karena ini bukan kebetulan, saya tak ingin melampau takdir saya sebelum menjelaskan atau lebih tepat menebaknya. Hakka disebut juga suku Kek. Tapi saya mau menggunakan koma atas, dan menyebutnya dengan Ke'.

Thomas Kusuma, usianya sekitar 60 tahun. Ia adalah salah satu pemberi informasi tentang Suku Hakka ini. Thomas bermarga Khoe dengan nama Tionghoa, Khoe Chen Ran dari suku besar Hokkian. Tiga generasi lampau keturunannya baru menghuni Kota Makassar. Saya menemuinya di Yayasan Abdi Sosial. Ia bahkan berbaik hati menerangkan perihal pembagian Suku Hokkian dan Kanton Makassar. Agar akrab, Pak Thomas saya sapa dengan sebutan Angko Khoe.

Di balik kertas kalender menera tanggal bersobek, Angko Khoe menjelaskan perihal macam suku dan dialek Hokkian. Ada Can Cou, Nan Ang, Ching Ciang, Yong Chun, Hok Cia dan Hin Hwa. Ada enam suku daerah Hokkian tersisa di Makassar. Paling tidak begitu setau Angko Khoe. Angko Khoe sendiri adalah keturunan Hokkian dari daerah Ching Ciang. Setelah saya bertanya mengenai Kanton, Angko Khoe hanya tau sedikit. Kanton di Makassar, setaunya terdiri dari Hupe, Hakka dan Chiu Sen. Entahlah. Menurut saya penjelasan ini masih sumir. Tidak lupa pula ia menyebut Suku Hainan, salah satu suku di Makassar yang memiliki fdaerah dan dialek yang khas pula.

Hainan, mengingatkan saya pada warung kopi seperti Phoenam, Haihong, dan Warkop Han. Tentu saja mereka adalah keturunan yang sangat terkenal sebagai usaha warung kopi. Angko Khoe lalu menyarankan saya mengunjungi satu yayasan lagi. Letaknya berada di sekitar Jalan Diponegoro. Nama yayasannya kalau tak salah Abdi Sejahtera.

Di yayasan ini saya bertemu orang yang lebih tua. Namanya, Wen U Lin. Ia adalah salah satu sepuh di yayasan ini. Hakka katanya identik dengan usaha Kelontong pertama di Makassar. Hokkian juga ada, tapi konon lebih kepada usaha hasil bumi. Wen U Ling yang akrab disapa Pak Uling bercerita, ayah dan kakeknya membuka usaha kelontong pertama di daerah Palopo.

Sehari-hari Kakek U Ling bersekolah di Jalan Cakalang dengan bersepeda. Sementara ayahnya, saban minggu pulang ke Makassar. Kakek U Ling masih sangat mengingat kenangan semasa kecil dan remajanya. Orang Hakka dahulu banyak bermukim di Jalan Sulawesi. Oh ya, ada lagi. Selain usaha kelontong, Hakka atau Ke' ternyata juga dikenal sebagai tukang obat. "Toko Semi Selatan itu orang Hakka lho," kata dia menyebut salah satu toko obat ternama di jalan Sulawesi.

Ya, saya pernah mengunjungi Toko Semi Selatan ini. Pengelola toko ini bahkan berbaik hati memberikan saya dua butir pil kuat. Tapi tak sampai hati saya meminumnya. Saya memberikannya kepada teman sekerja saya. Tak usah kusebut namanya pun kau pasti tau tuhan. Sebenarnya, saya berjanji mencari tahu lebih dalam tentang suku tionghoa di Makassar ini. Tapi kautaulah, saya cuma tak sudi berkata langsung sekadar alasan. Sibuk ! Tentu saja tuhan. Saya sibuk urusan mencari tau.

Tuhan yang baik, selama sebulan ini saya juga banyak sibuk mengurus rumah komunitas kecil-kecilan ajakan Om Jimpe. Namanya Komunitas Tanahindie. Kautau, sebagai seorang perenung baik hati, saya tentu membutuhkan tempat-tempat seperti ini. Pertengahan bulan ini kami sempat berbagi dengan menggelar pasar kecil di Kampung Buku Jalan Abdullah Daeng Sirua.

Pasar kecil ini maunya disebut sebagai pasar seni. Tapi kautaulah, yang dijual masih seadanya. Ada barang bekas, seperti gelang, sepatu, bongkar pasang dan banyak lagi tuhan. Om Jimpe dan mantan pacarnya bahkan sampai rela menjual barang bekas yang sebenarnya masih layak. Tentu saja ada partisipasi dari teman saya yang lain.

Beruntung, ada teman saya yang batal menjual foto profil Facebooknya. Padahal, jauh hari ia merencanakan mencetaknya dalam bentuk foto dan bingkai 10R. Hebat bukan!! Fotomu saja tuhan, belum tentu laku. Sebab, siapa berani membayangkan wajahmu. Tentu saja, dari sekian yang saya cerita di atas banyak hal yang tak tertepati.

Ah, lagi-lagi tuhan. Dulu, saya pikir janji itu kewajiban yang sewajib-wajib kautepati. Tapi sebulan ini, banyak sekali orang yang tak bisa berjanji di layar tivi. Bah! tentu saja kaulebih tau apa yang terjadi di muka bumi ini. Apalagi sekadar kebohongan yang tampil di layar tipi. Tapi, tivi berita ya tuhan. Bukan tivi sinetron, reality show atau tentu saja National Geographic. Akh, kautaulah tipe tivi yang suka kutonton bukan?

Sinetrong dan Gossip!

Tentu saja, bukankah semuanya seperti itu sekarang? Jangan jawab sekarang ya tuhan. Nantilah kapan waktu kita bersua lagi. Masih banyak janji yang harus tertepati bulan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar