Alfred-Tionghoa Oewpek yang Terbuka
Seminggu sebelum peliputan dimulai, saya sudah was-was. Saya ditugasi kantor meliput awal kedatangan para pembuat gigi palsu di Makassar. Mereka, 90 persen bisa diduga warga Tionghoa dari suku Oewpek atau Hupe, atau Upe, yang jumlahnya minim.
Mereka bisa dihitung jari, sebab turun-temurun baru tiga generasi di kota saya, kota Makassar. Seperti biasa, teman-teman saya di bagian non news pemberitaan koran tempo Makassar terbiasa dengan ketegangan jelang tenggat. Apalagi melakukan peliputan di kawasan pecinan.
Peliputan ini adalah salah satu yang tersulit, sebab masyarakatnya bisa dibilang sangat tertutup. Maklum, trauma masa lalu pemerintahan kita membuatnya seperti itu. Tapi setelah menelusuri kawasan pecinan kurang lebih hampir setahun, saya banyak belajar dari mereka, yang warga Tionghoa.
Salah satunya dari tukang gigi bernama Alfred Sentosa, 42 tahun. Ia tinggal di Jalan Gunung Lompobattang mengelola praktik Tukang Gigi Gaya warisan ayahnya, Philippus Sentosa. Alfred bermarga Sen dari Suku Upe Danau Utara Tiongkok.
Ibunya bermarga Cen. Sementara nenek dari pihak ibu, bisa dibilang keturunan ningrat. "Tradisi oma sangat kuat. Karena dari bayi kakinya sudah diikat membentuk mangkok," kata Alfred menduga.
Alfred tak ingat jelas asal-usul keturunannya. Misalnya, mengapa ayahnya bekerja sebagai tukang gigi. Tapi Alfred tak ambil pusing. Bagi dia, selama masih bisa bekerja dan menerima duit hasil jasa membuat gigi palsu, ia sudah puas.
Sedikit yang Alfred ingat. Ayahnya juga dari keturunan Upe asal Tenggarong, Kalimantan Timur. "Ayah saya pintar karena rajin membaca koran setiap hari. Ayah juga punya buku tebal tentang sejarah cina," kata Alfred.
Buku tebal itu berukuran lima jari ukuran dewasa, berbahasa dan tulis mandarin. Saya memanfaatkan paman google. Hasilnya, Suku Upe konon, adalah suku terampil terutama kepandaiannya bermain silat atau kungfu. Tubuh mereka rata-rata kekar.
Lalu saya mengamati Alfred, dan memang kekar untuk ukuran tinggi badan 172 centimeter. Saya bertemu Alfred dua kali di rumah yang dijadikan tempat praktik tukang gigi Jalan Gunung Lompobatang, sore hari. Setiap kali saya menjambangi rumahnya, ia selalu menawarkan saya teh kotak.
Pertemuan ketiga, ia menawari saya makan mi titik di seberang rumah. Ia terbuka kepada saya. Berbeda dengan kakaknya, Alfred toleran dan mau memberi informasi. Alfred adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. "Yang lain sudah di Jakarta. Saya, ibu dan kakak di Makassar," katanya.
Pernah, ketika sesi pemotretan dimulai di tempat praktiknya, kakak Alfred kebetulan berada di lokasi. Ia menghindar bukan kepalang. Saya maklum saja cengat-cengut. "Ya sebenarnya tidak semua warga tionghoa begitu. Saya bicara apa adanya, selama tidak merugikan usaha saya," Ucap Alfred.
Puncak pertemuan saya dengan Alfred ketika saya berada di rumahnya hinga larut, jam sepuluh malam. Ia bercerita banyak hal. Saya mengamati mata, gerakan tangan, hingga nada suaranya. Ia kaget kala saya bertanya. "Bapak sebenarnya pernah nakal tidak. Waktu muda dulu bapak nakalnya apa?" saya bertanya.
Barangkali ia tertegun dengan pertanyaan saya. Sebab, sedari tadi ia melulu bercerita tentang banyak hal mengenai perkawanannya dengan polisi ini, tentara itu, dan kepala pengadilan ini.
"Saya tidak nakal dik. Saya cuman menikmati hasil stres saya bekerja dengan rutinitas kayak begini."
Mendengar jawabannya saya menduga. "Bapak pemakai ya?" saya sangat menunggu jawabannya. Alfred, saya pikir berusaha menyembunyikan sesuatu dengan tidak mengiyakan.
"Saya dikerjai teman saya. Saya hobi menyanyi di tempat karaoke. Pernah minuman saya dimasukkan inex," katanya. Saya tertegun, bukan karena ia pemakai. Tidak, ia bukan pecandu. Tapi beralasan menikmati, dan bagi saya itu masuk akal. Sebab, ia masih memikirkan tiga orang anaknya dan seorang istri yang dicintainya.
Alfred pernah menginap di rumah tahanan awal 2010, karena kasus narkoba. Ia merasa dijebak oleh teman polisinya. Sampai suatu ketika ia harus berkorban, menjual motor, dan meminta bantuan keluarga supaya bisa keluar rutan secepatnya. Ia berhasil. Tidak sampai tiga bulan ia, menghirup udara segar, dan berkumpul bersama keluarganya.
Pertemuan terakhir saya dengan Alfred sore itu, adalah sehabis Alfred pulang dari gereja di Jalan Gunung Latimojong St Joseph. Sebelum bertemu, ada setengah jam saya menunggu di tempat praktiknya.
"Baru kali ini saya ke gereja. Terakhir sejak tahun 1998, saya ingin berbuat baik demi anak istri saya kelak," katanya, memulai pembicaraan hingga cerita ini lahir-waktu itu, Alfred lima menit baru turun dari becak.
Hingga pertemuan jelang larut itu, ia selalu mengajak saya sekadar mampir. "Yang penting jangan bilang-bilang. Kalau bicara jaringan narkoba, dan pengadilan, saya tauk alurnya," begitu katanya. Ia berani, terbuka, dan jujur.
Cerita ini adalah salah satu alasan, kenapa Tionghoa begitu tertutup terutama kepada wartawan.
Mereka bisa dihitung jari, sebab turun-temurun baru tiga generasi di kota saya, kota Makassar. Seperti biasa, teman-teman saya di bagian non news pemberitaan koran tempo Makassar terbiasa dengan ketegangan jelang tenggat. Apalagi melakukan peliputan di kawasan pecinan.
Peliputan ini adalah salah satu yang tersulit, sebab masyarakatnya bisa dibilang sangat tertutup. Maklum, trauma masa lalu pemerintahan kita membuatnya seperti itu. Tapi setelah menelusuri kawasan pecinan kurang lebih hampir setahun, saya banyak belajar dari mereka, yang warga Tionghoa.
Salah satunya dari tukang gigi bernama Alfred Sentosa, 42 tahun. Ia tinggal di Jalan Gunung Lompobattang mengelola praktik Tukang Gigi Gaya warisan ayahnya, Philippus Sentosa. Alfred bermarga Sen dari Suku Upe Danau Utara Tiongkok.
Ibunya bermarga Cen. Sementara nenek dari pihak ibu, bisa dibilang keturunan ningrat. "Tradisi oma sangat kuat. Karena dari bayi kakinya sudah diikat membentuk mangkok," kata Alfred menduga.
Alfred tak ingat jelas asal-usul keturunannya. Misalnya, mengapa ayahnya bekerja sebagai tukang gigi. Tapi Alfred tak ambil pusing. Bagi dia, selama masih bisa bekerja dan menerima duit hasil jasa membuat gigi palsu, ia sudah puas.
Sedikit yang Alfred ingat. Ayahnya juga dari keturunan Upe asal Tenggarong, Kalimantan Timur. "Ayah saya pintar karena rajin membaca koran setiap hari. Ayah juga punya buku tebal tentang sejarah cina," kata Alfred.
Buku tebal itu berukuran lima jari ukuran dewasa, berbahasa dan tulis mandarin. Saya memanfaatkan paman google. Hasilnya, Suku Upe konon, adalah suku terampil terutama kepandaiannya bermain silat atau kungfu. Tubuh mereka rata-rata kekar.
Lalu saya mengamati Alfred, dan memang kekar untuk ukuran tinggi badan 172 centimeter. Saya bertemu Alfred dua kali di rumah yang dijadikan tempat praktik tukang gigi Jalan Gunung Lompobatang, sore hari. Setiap kali saya menjambangi rumahnya, ia selalu menawarkan saya teh kotak.
Pertemuan ketiga, ia menawari saya makan mi titik di seberang rumah. Ia terbuka kepada saya. Berbeda dengan kakaknya, Alfred toleran dan mau memberi informasi. Alfred adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. "Yang lain sudah di Jakarta. Saya, ibu dan kakak di Makassar," katanya.
Pernah, ketika sesi pemotretan dimulai di tempat praktiknya, kakak Alfred kebetulan berada di lokasi. Ia menghindar bukan kepalang. Saya maklum saja cengat-cengut. "Ya sebenarnya tidak semua warga tionghoa begitu. Saya bicara apa adanya, selama tidak merugikan usaha saya," Ucap Alfred.
Puncak pertemuan saya dengan Alfred ketika saya berada di rumahnya hinga larut, jam sepuluh malam. Ia bercerita banyak hal. Saya mengamati mata, gerakan tangan, hingga nada suaranya. Ia kaget kala saya bertanya. "Bapak sebenarnya pernah nakal tidak. Waktu muda dulu bapak nakalnya apa?" saya bertanya.
Barangkali ia tertegun dengan pertanyaan saya. Sebab, sedari tadi ia melulu bercerita tentang banyak hal mengenai perkawanannya dengan polisi ini, tentara itu, dan kepala pengadilan ini.
"Saya tidak nakal dik. Saya cuman menikmati hasil stres saya bekerja dengan rutinitas kayak begini."
Mendengar jawabannya saya menduga. "Bapak pemakai ya?" saya sangat menunggu jawabannya. Alfred, saya pikir berusaha menyembunyikan sesuatu dengan tidak mengiyakan.
"Saya dikerjai teman saya. Saya hobi menyanyi di tempat karaoke. Pernah minuman saya dimasukkan inex," katanya. Saya tertegun, bukan karena ia pemakai. Tidak, ia bukan pecandu. Tapi beralasan menikmati, dan bagi saya itu masuk akal. Sebab, ia masih memikirkan tiga orang anaknya dan seorang istri yang dicintainya.
Alfred pernah menginap di rumah tahanan awal 2010, karena kasus narkoba. Ia merasa dijebak oleh teman polisinya. Sampai suatu ketika ia harus berkorban, menjual motor, dan meminta bantuan keluarga supaya bisa keluar rutan secepatnya. Ia berhasil. Tidak sampai tiga bulan ia, menghirup udara segar, dan berkumpul bersama keluarganya.
Pertemuan terakhir saya dengan Alfred sore itu, adalah sehabis Alfred pulang dari gereja di Jalan Gunung Latimojong St Joseph. Sebelum bertemu, ada setengah jam saya menunggu di tempat praktiknya.
"Baru kali ini saya ke gereja. Terakhir sejak tahun 1998, saya ingin berbuat baik demi anak istri saya kelak," katanya, memulai pembicaraan hingga cerita ini lahir-waktu itu, Alfred lima menit baru turun dari becak.
Hingga pertemuan jelang larut itu, ia selalu mengajak saya sekadar mampir. "Yang penting jangan bilang-bilang. Kalau bicara jaringan narkoba, dan pengadilan, saya tauk alurnya," begitu katanya. Ia berani, terbuka, dan jujur.
Cerita ini adalah salah satu alasan, kenapa Tionghoa begitu tertutup terutama kepada wartawan.
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..