Perjalanan Singkat Mengenal I La Galigo

Aduh. Kartu pos berbahasa perancis ini begitu menggoda pandangan mata saya. Latar foto itu orangtua berjenggot, berpakaian ala putih seperti dewa yang baru turun dari langit. Diapit rumah-rumah kecil. Dibalik kartu pos itu adalagi gambar arena layaknya menyaksikan pertunjukan ala Romawi.

Penonton di arena itu terkesima pada satu pandangan teaterikal. Sebangsa apa yang membuat kartu pos semewah ini? Usut punya usut, latar foto itu adalah latar pentas teater di Lyon Perancis. Saya lebih terkesima lagi ketika mengetahui pentas teater itu bernama I La Galigo, kisah panjang epos sastra terbesar di dunia melebihi Mahabarata.

Dua bulan lalu saya mendengar I La Galigo akan dipentaskan di Makassar. Sebuah pentas lima tahun silam begitu spektakuler ditayangkan di Harian Kompas. Saya hanya melihat siluet fotonya yang luar biasa. Tapi belum ada ketertarikan di masa itu. Belum ada gairah untuk mencari tahu.
Hingga suatu ketika saya bertemu dengan Abdul 'Simon' Murad. Dari tangannyalah saya memperoleh hadiah kartu pos bergambar pentas teater I La Galigo. Simon Murad adalah pemeran Dewa Patotoe dalam Sureq Galigo.
Sureq Galigo ini adalah kitab bugis kuno, jauh sebelum islam memasuki tanah sulawesi. Ia diperkirakan ditulis pertamakali sebelum abad 14. Sureq Galigo, biasa dinyanyikan atau didendangdendangkan oleh para bissu. Kitab ini, akhirnya diangkat ke atas teater oleh sutradara Robert Wilson. Dan, Abdul Simon Murad adalah salah satu pemerannya. "Ada kebanggaan. Khususnya setelah pentas ini tampil di Tanah Leluhurnya.

Paling tidak Makassar adalah tanah Sulawesi," begitu kata Pak Simon. Kebahagiaan tentu saja terpancar di wajah Pak Simon. "Ini salah satu bentuk tanggung jawab moral kami sebagai seniman untuk tampil sebaik-baiknya," ungkapnya. Dari tiga kali pertemuan saya dengan Pak Simon, berkali-kali ia menceritakan keberhasilan pementasan karya Robert Wilson. "Kami di sanjung-sanjung di Kota orang. Bayangkan orang bule tak menyangka penampilan teater ini."
Setidaknya, pentas teater karya Robert Wilson ini telah pentas di 12 negara. Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Jakarta adalah dua kota terakhir setelah Makassar 23 April 2011. Saya bertanya dalam hati kecil. Kenapa Makassar menjadi kota terakhir? Singkatnya begini. Penyakit kita barangkali : kalau mau bagus lebih baik diambil orang yang profesional. Apa-apa yang bagus itu datangnya dari luar. Entah luar negeri entah luar Sulawesi. Ah, dan itu terjawab sudah. Memang bagus kalau diambil orang luar. Untuk sementara itu yang terlihat di permukaan. Sekali lagi itu yang terlihat di permukaan.

Jadi kita, Orang Bugis-Makassar Jadi penonton Ji Saja'?

Jadi apakah kita orang Bugis-Makassar hanya bisa jadi penonton? Ih, Menjawab ini tidak mudah. Saya bukan orang Bugis-Makassar Cina, yang bego dan mudah diperbodohi. Seperti mau berteriak.

"Ooow bangun ko anak muda. Moko dirampok." Bangunlah anak muda, warisan kebudayaanmu mau dirampok. Ihwal perjalanan pementasan ini, kalau boleh menyebut perih, dan menyakitkan untuk beberapa orang yang sejak awal pernah terlibat. Nah. Mereka-mereka inilah yang selalu lantang berteriak keras sekali, tapi tidak terdengar oleh sesiapa pun.

Pekik Sunyi dibalik Pementasan I La Galigo

"Aduduee. Menangis saya kalau mengenang kisah pahit pementasan I La Galigo ini nak." Ah, kupikir tak perlu menyebut nama perempuan ini. Yang jelas, ada perempuan Bugis-Makassar yang menangis melihat pementasan ini. Sejumlah pakar menganggap I La Galigo adalah sakral. Ada daya magis tersembunyi penuh misteri. Bagi Nurhayati Rahman seorang guru besar sastra di Universitas hasanuddin mengatakan, I La Galigo itu serupa mantra. Mantra yang tidak mudah kauterka datangnya.

Karena itu, kata dia, jangan menganggap enteng I La Galigo yang dengan mudah mengangkatnya ke ranah teater. Salah konsep bisa saja berakibat fatal. Misteri, sebab I La Galigo belum tuntas. Meski diterjemahkan 12 jilid naskah yang disalin Matthes, belumlah cukup.

Matthes adalah orang Belanda yang membawa naskah 12 jilid itu ke perpustakaan Leiden Belanda. Ia hidup pada tahun 1800 (1812 kalau tak salah). Naskah itu didapatnya dari seorang bangsawan bernama Collie Pujie Arung Pancana Toa yang hidup terasing di Tanah sendiri, Tanete, Barru. Satu hal yang positif, orang seperti Matthes berhasil menyelamatkan naskah itu.

Meski pada akhirnya 12 jilid naskah itu terawat sampai sekarang di Perpustakaan Leiden KILTV, Belanda. Menurut Nurhayati, dari yang tersalin sedikitnya ada 300 ribu baris bait panjang yang tersalin. Bait-bait itu berisi limalima baris layaknya syair-syair yang diperdendangkan bissu bugis. Menurut Sirtjo Koolhof. Sureq Galigo yang tersalin itu memiliki posisi unik mengalahkan Epos Mahabarata yang hanya terdiri dari 160 ribu sudut panjang syairnya.
Bagi orang Bugis, syair ini terbilang sakral karena berupa doa-doa dan harapan-kejadian yang termaktub dalam lima bait pada masa lampau. Halilintar Lathief bahkan dengan hati-hati menyebutnya, salah konsep. "Bagi saya I La Galigo ini masih panjang. Mementaskannya juga harus hati-hati," katanya. Baik Nurhayati maupun Halilintar Lathief adalah dua orang yang menyuarakan pekik itu. Sebenarnya ada satu orang lagi. Namanya, Nirwan Ahmad Arsuka. Sunyi tetap sunyi. Siapa yang mau mendengar?Bukankah even yang besar dan tergiang pada kepentingan yang besar riak kecil mudah dihapus? Jawabannya tidak!

Kepada Siapa I La Galigo diperuntukkan?

I La Galigo pulang kampung. Syukurlah. Tapi apa cukup? tidak! Saya mengambil pelajaran dari Pak Halilintar. Seharusnya orang-orang yang pernah terlibat menjual I La Galigo harus memberi timbal balik yang sesuai. Lihat para seniman, lihat para bissu, dan lihat efeknya terhadap generasi muda (termasuk saya).
Bissu dalam lembaga adat terpecah. Seniman tidak memperoleh hasil yang selayaknya pada pementasan I La Galigo. Nama besar, tidak ada masalah, sebab para seniman yang terlibat masih menimbang materi dan nama, untuk tampil pada even sekaliber sutradara Robert Wilson. Bagi saya, I La Galigo harus terus digali-gali layaknya ma'galigali I La Galigo ada.

----mungkin bersambung | Foto-foto : Diberikan langsung oleh Simon Murad (pemeran dewa patotoe). Dia bilang, foto ini waktu mentas di Singapura dipotret oleh fotografer KILTV |

Comments

Post a Comment

sekedar jejak..

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar