I La Galigo dan Cerita di balik Tembok Fort Rotterdam
Malam yang cerah dan semilir angin sepoi sungguh romantis. Belum ada rintik hujan yang bakal keras menghantam Makassar di Jalan Ujung Pandang yang masih tergolong daerah pantai.
Di emperan jalan itu, sepasang kekasih duduk santai di warung remang. Sambil menikmati es kelapa muda. Keduanya bertanya heran. "Acara apa di seberang sana?" Setelah membaca baliho raksasa, ada tanya kemudian. "Apa itu Lagaligo?" Keduanya tak jauh dari Benteng Fort Rotterdam-atau sekitar 20 meter pintu gerbang di seberang jalan, tempat berlangsungnya pementasan teater megah tahun ini, I La Galigo.
Wajar ada yang berpendapat kalau pementasan pementasan I La Galigo adalah utopia bagi sebagian masyarakat biasa. Barangkali perkataan itu ada benarnya, jika merujuk pada seni pertunjukan. Apalagi I La Galigo adalah warisan budaya bugis kuno yang diangkat ke atas seni pertunjukan teater.
"Seni itu mahal bung. Mengelolanya itu butuh kerja keras," kata Asdar Muis RMS, budayawan Makassar. Dengan lantang Asdar menyebut kebudayaan bugis makassar belum banyak diketahui masyarakat makassar yang bertalian dengan I La Galigo.
"Memang kenyataannya begitu. Kurikulum sekolah mengajarkan kita pewayangan dari penerbit Yudhistira. Bagaimana mereka mau mengenal budayanya kalau dalam muatan lokal saja itu tidak ada," kata dia. I La Galigo adalah salah satu tokoh cerita dalam naskah bugis kuno Sureq Galigo. Jauh sebelum, peradaban Islam memasuki tanah Sulawesi, Sureq Galigo diperkirakan ditulis pada abad ke tujuh masehi.
Sureq Galigo, biasa dinyanyikan atau didendangdendangkan oleh para bissu, pendeta bugis. Kitab ini, akhirnya diangkat ke atas teater oleh sutradara Robert Wilson.
Setidaknya, pentas teater karya Robert Wilson ini telah pentas di 12 negara. Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Jakarta adalah dua kota terakhir setelah Makassar 23 dan 24 April 2011.
***
Pukul delapan malam, 17 April 2011 di Kompleks Perumahan Dosen Unhas di kantor Pusat Studi I La Galigo. Begitu cara Nurhayati Rahman melestarikan tradisi kita bugis kuno Sureq Galigo.
"Harta saya disini nak. Di ruang kecil ini, ribuan naskah berupa tulisan lontaraq, dan rekaman passureq. Saya menyimpan semuanya," ujarnya.
Dia mendirikan pusat studi Lagaligo di kediaman pribadinya terletak di Kompleks Dosen Unhas. Dibalik proses panjang pementasan I La Galigo yang dipentaskan Sutradara Robert Wilson, Nurhayati bukan tidak punya andil.
"Aduduee. Menangis saya kalau mengenang kisah pahit pementasan I La Galigo ini nak." Begitu kata Nurhayati Rahman, guru besar Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya Universtas Hasanuddin.
Ia termasuk salah seorang penterjemah I La Galigo yang terlibat di awal pementasan megah itu. "Saya termasuk orang yang kecewa. Pada akhirnya di masa 2005 saya mengundurkan diri pelan-pelan," ucapnya.
Ada salah konsep yang tidak sesuai. "Ini sakral, sebab kitab bugis kuno dibacakan sendiri oleh seorang bissu, pendeta bugis masa lampau," katanya. Bagi Nurhayati Rahman, I La Galigo itu serupa mantra, karena dibacakan oleh passureq bissu.
Karena itu, kata dia, jangan menganggap enteng I La Galigo yang dengan mudah mengangkatnya ke ranah teater. Salah konsep bisa saja berakibat fatal. Misteri, sebab I La Galigo belum tuntas. Meski diterjemahkan 12 jilid naskah yang disalin Matthes, belumlah cukup.
Matthes adalah orang Belanda yang membawa naskah 12 jilid itu ke perpustakaan Leiden Belanda. Ia hidup pada abad delapan belas. Naskah itu didapatnya dari seorang bangsawan bernama Collie Pujie Arung Pancana Toa yang hidup terasing di Tanah sendiri, Tanete, Barru.
Satu hal yang positif, orang seperti Matthes berhasil menyelamatkan naskah itu. Meski pada akhirnya 12 jilid naskah itu terawat sampai sekarang di Perpustakaan Leiden KILVT, Belanda. Menurut Nurhayati, dari yang tersalin sedikitnya ada 300 ribu baris bait panjang yang tersalin.
Bait-bait itu berisi limalima baris layaknya syair-syair yang diperdendangkan bissu bugis. Menurut Sirtjo Koolhof, kepala perpustakaan Leiden, Belanda. Sureq Galigo yang tersalin itu memiliki posisi unik mengalahkan Epos Mahabarata yang hanya terdiri dari 160 ribu sudut panjang syairnya. Bagi orang Bugis, syair ini terbilang sakral karena berupa doa-doa dan harapan-kejadian yang termaktub dalam lima bait pada masa lampau.
Halilintar Lathief, dosen tari Universitas Negeri Makassar, bahkan dengan hati-hati menyebutnya, salah konsep. "Bagi saya I La Galigo ini masih panjang. Mementaskannya juga harus hati-hati," katanya.
Tari-tarian adalah salah satu yang dipermasalahkannya. "Kalau ini kitab bugis kuno. Seharusnya tari-tari yang tepat juga tarian bugis. Begitu juga musiknya," katanya. Baik Nurhayati maupun Halilintar Lathief adalah dua orang yang menyuarakan kesakralan itu. Menurut mereka, mengangkatnya ke ranah teater membutuhkan kajian yang pantas. "Supaya tidak menganggap I La Galigo yang dipentaskan seperti itu," singkatnya.
I La Galigo pada akhirnya berlabuh ke Makassar, tanah Sulawesi. Ia tak bisa dibendung. Di dalamnya sudah mempengaruhi semua aspek. Sosial, budaya hinga kepentingan mulai kelihatan di permukaan. Tapi sisi positifnya, tak masalah ia menjadi budaya pop bagi para pemuda-pemudi masa kini.
Paling tidak, terlepas dari kesakralan dan seni pertunjukan yang dibawakan Sutradara sekelas Robert Wilson, akan selalu ada yang bertanya dengan penasaran.
"Apa itu i La Galigo?" | Foto-foto : Diberikan langsung oleh Simon Murad (pemeran dewa patotoe). Dia bilang, foto ini waktu mentas di Singapura dipotret oleh fotografer KILTV |
Di emperan jalan itu, sepasang kekasih duduk santai di warung remang. Sambil menikmati es kelapa muda. Keduanya bertanya heran. "Acara apa di seberang sana?" Setelah membaca baliho raksasa, ada tanya kemudian. "Apa itu Lagaligo?" Keduanya tak jauh dari Benteng Fort Rotterdam-atau sekitar 20 meter pintu gerbang di seberang jalan, tempat berlangsungnya pementasan teater megah tahun ini, I La Galigo.
Wajar ada yang berpendapat kalau pementasan pementasan I La Galigo adalah utopia bagi sebagian masyarakat biasa. Barangkali perkataan itu ada benarnya, jika merujuk pada seni pertunjukan. Apalagi I La Galigo adalah warisan budaya bugis kuno yang diangkat ke atas seni pertunjukan teater.
"Seni itu mahal bung. Mengelolanya itu butuh kerja keras," kata Asdar Muis RMS, budayawan Makassar. Dengan lantang Asdar menyebut kebudayaan bugis makassar belum banyak diketahui masyarakat makassar yang bertalian dengan I La Galigo.
"Memang kenyataannya begitu. Kurikulum sekolah mengajarkan kita pewayangan dari penerbit Yudhistira. Bagaimana mereka mau mengenal budayanya kalau dalam muatan lokal saja itu tidak ada," kata dia. I La Galigo adalah salah satu tokoh cerita dalam naskah bugis kuno Sureq Galigo. Jauh sebelum, peradaban Islam memasuki tanah Sulawesi, Sureq Galigo diperkirakan ditulis pada abad ke tujuh masehi.
Sureq Galigo, biasa dinyanyikan atau didendangdendangkan oleh para bissu, pendeta bugis. Kitab ini, akhirnya diangkat ke atas teater oleh sutradara Robert Wilson.
Setidaknya, pentas teater karya Robert Wilson ini telah pentas di 12 negara. Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Jakarta adalah dua kota terakhir setelah Makassar 23 dan 24 April 2011.
***
Pukul delapan malam, 17 April 2011 di Kompleks Perumahan Dosen Unhas di kantor Pusat Studi I La Galigo. Begitu cara Nurhayati Rahman melestarikan tradisi kita bugis kuno Sureq Galigo.
"Harta saya disini nak. Di ruang kecil ini, ribuan naskah berupa tulisan lontaraq, dan rekaman passureq. Saya menyimpan semuanya," ujarnya.
Dia mendirikan pusat studi Lagaligo di kediaman pribadinya terletak di Kompleks Dosen Unhas. Dibalik proses panjang pementasan I La Galigo yang dipentaskan Sutradara Robert Wilson, Nurhayati bukan tidak punya andil.
"Aduduee. Menangis saya kalau mengenang kisah pahit pementasan I La Galigo ini nak." Begitu kata Nurhayati Rahman, guru besar Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya Universtas Hasanuddin.
Ia termasuk salah seorang penterjemah I La Galigo yang terlibat di awal pementasan megah itu. "Saya termasuk orang yang kecewa. Pada akhirnya di masa 2005 saya mengundurkan diri pelan-pelan," ucapnya.
Ada salah konsep yang tidak sesuai. "Ini sakral, sebab kitab bugis kuno dibacakan sendiri oleh seorang bissu, pendeta bugis masa lampau," katanya. Bagi Nurhayati Rahman, I La Galigo itu serupa mantra, karena dibacakan oleh passureq bissu.
Karena itu, kata dia, jangan menganggap enteng I La Galigo yang dengan mudah mengangkatnya ke ranah teater. Salah konsep bisa saja berakibat fatal. Misteri, sebab I La Galigo belum tuntas. Meski diterjemahkan 12 jilid naskah yang disalin Matthes, belumlah cukup.
Matthes adalah orang Belanda yang membawa naskah 12 jilid itu ke perpustakaan Leiden Belanda. Ia hidup pada abad delapan belas. Naskah itu didapatnya dari seorang bangsawan bernama Collie Pujie Arung Pancana Toa yang hidup terasing di Tanah sendiri, Tanete, Barru.
Satu hal yang positif, orang seperti Matthes berhasil menyelamatkan naskah itu. Meski pada akhirnya 12 jilid naskah itu terawat sampai sekarang di Perpustakaan Leiden KILVT, Belanda. Menurut Nurhayati, dari yang tersalin sedikitnya ada 300 ribu baris bait panjang yang tersalin.
Bait-bait itu berisi limalima baris layaknya syair-syair yang diperdendangkan bissu bugis. Menurut Sirtjo Koolhof, kepala perpustakaan Leiden, Belanda. Sureq Galigo yang tersalin itu memiliki posisi unik mengalahkan Epos Mahabarata yang hanya terdiri dari 160 ribu sudut panjang syairnya. Bagi orang Bugis, syair ini terbilang sakral karena berupa doa-doa dan harapan-kejadian yang termaktub dalam lima bait pada masa lampau.
Halilintar Lathief, dosen tari Universitas Negeri Makassar, bahkan dengan hati-hati menyebutnya, salah konsep. "Bagi saya I La Galigo ini masih panjang. Mementaskannya juga harus hati-hati," katanya.
Tari-tarian adalah salah satu yang dipermasalahkannya. "Kalau ini kitab bugis kuno. Seharusnya tari-tari yang tepat juga tarian bugis. Begitu juga musiknya," katanya. Baik Nurhayati maupun Halilintar Lathief adalah dua orang yang menyuarakan kesakralan itu. Menurut mereka, mengangkatnya ke ranah teater membutuhkan kajian yang pantas. "Supaya tidak menganggap I La Galigo yang dipentaskan seperti itu," singkatnya.
I La Galigo pada akhirnya berlabuh ke Makassar, tanah Sulawesi. Ia tak bisa dibendung. Di dalamnya sudah mempengaruhi semua aspek. Sosial, budaya hinga kepentingan mulai kelihatan di permukaan. Tapi sisi positifnya, tak masalah ia menjadi budaya pop bagi para pemuda-pemudi masa kini.
Paling tidak, terlepas dari kesakralan dan seni pertunjukan yang dibawakan Sutradara sekelas Robert Wilson, akan selalu ada yang bertanya dengan penasaran.
"Apa itu i La Galigo?" | Foto-foto : Diberikan langsung oleh Simon Murad (pemeran dewa patotoe). Dia bilang, foto ini waktu mentas di Singapura dipotret oleh fotografer KILTV |
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..