Rasa, Itu Memanusiakan

Setelah mengingat kembali apa itu pewarta, saya baru sadar profesi ini bukan sekadar memberitakan. Kalau tak salah, seorang wartawan itu seperti kata-kata wartawan Kompas Sindhunata.

Dia sewajarnya ikut menjadi lelaku atau merasakan langsung objek liputan-mengecapnya dengan seluruh indera. Barangkali ini juga ada hubungannya dengan istilah Coverboth Side (dua sisi yang berimbang). Misalnya, melakukan peliputan demonstrasi di lapangan.

Ada polisi, dan ada barisan mahasiswa pada sisi yang bersebrangan.
Keduanya berlawanan tentu saja. Sebagai pewarta yang baik, ini ada hubungannya dengan letak posisi. Pada posisi apa anda berpijak. Seperti para peliput perang semisal pewarta CNN dan Al-Jazeera. CNN pada masa invasi amerika ke Irak jelas berada pada pijakan sekutu.

Sementara, Al-Jazeera berada pada posisi netral (kalau boleh menyebutnya demikian). Kenapa Al-Jazeera netral? Sebab, mereka (pewarta Al-Jazeera), tidak melulu menjadi corong bagi sekutu. Dan tentu saja informasi mengenai keberadaan sekutu pada masa itu, sangat mudah diakses oleh semua media internasional. Tapi Al-Jazeera melakukan sebaliknya. Media dari Qatar itu, melakukan peliputan yang berpijak pada gerilyawan Irak (saya membahas dua media ini dalam skripsi saya).

Kembali kepada peliputan demonstrasi di lapangan. Posisi wartawan sebaiknya berada pada dua pihak yang berlawanan. Saya yakin, sejahat-jahatnya aparat kepada mahasiswa juga karena mereka tak tahu apa-apa. Mereka, para polisi bertameng itu hanya menjalankan perintah atasan. Kalau toh emosi, juga saya yakin karena mereka manusia biasa. Persoalan peristiwa, ini yang paling banyak diungkap oleh media televisi. Apalagi demonstrasi yang berbau kekerasan. Jujur, ini adalah makanan empuk.

Saya bukan mau membela polisi. Mengenai kejadian di Polewali-Mandar yang menewaskan seorang dosen Komunikasi bernama Sofyan. Sewajarnya kita berpikir. Sofyan adalah teman satu angkatan KKN (kuliah kerja nyata) di Kabupaten Pinrang. Di media disebutkan polisi menembak. Dan Sofyan terkena peluru nyasar. Sadis, sangat sadis.

Kejam, dan tentu saja sangat kejam. Saya mengetahui yang tertembak teman saya. Coba, kalau teman anda. Emosi, iya tentu saja. Tapi apakah saya harus menyalahkan polisinya. Entahlah, kalau saya cuma bilang, "menyayangkan," itu sangat naif. Saya tidak tahu, apakah oknum polisi yang menembak itu dalam keadaan terdesak atau tidak. Saya juga tidak tahu, apakah mahasiswa yang berdemo saat itu, dalam keadaan terdesak sehingga harus menuai kerusuhan.

Jika saya ikut menjadi lelaku di antara dua sisi itu, merasakannya dengan seluruh indera saya. Maka saya seharusnya tahu akan menghujat siapa. Ini di luar posisi sebagai seorang pewarta. Tapi bagi seorang pewarta tidak demikian. Ia harus menceritakan peristiwa pada dua sisi yang berlawanan itu.

Pada akhirnya memang tidak ada yang objektif (berimbang). Wartawan sekalipun, pada akhirnya harus berpihak. Tergantung di posisi mana ia berada. Bahkan berada pada dua posisi yang berlawanan tadi, tidak mutlak ia Coverboth Side. Itulah gunanya perasaan. Jika fakta tidak lagi cukup untuk menuliskannya, gunakanlah perasaan dari indera pengecap tadi. Kadang-kadang, bagi saya ini bisa menjadi pilihan. Perasaan yang saya maksud bukan menerka-nerka atau menebak-nebak.

Tetapi, menggunakan rasa-keputusan ikut sebagai lelaku dalam peristiwa dua sisi yang berlawanan tadi. Pada akhirnya saya ingin berkisah tentang Pelacur dan Gubernur. Ini cuma cerita. Mengandai, bagaimana rasanya berada sebagai Gubernur, dan mengandai bagaimana rasanya menjadi seorang Pelacur. Gubernur banyak duit, berapapun duit bisa digelontorkan. Tinggal menunjuk bawahan mana yang harus membayar. Saya tidak pernah tahu tingkat stres pada posisi ini. Tapi saya yakin, sangat banyak. Apalagi memberikan janji-janji kepada pengikutnya. Mengecewakan sedikit, maka habislah semua.

Pelacur? tidak ada ada beban. Hanya menunggu. Tapi dimana tingkat stressnya? Barangkali ada pada posisi ketika dia diangkat menjadi perempuan simpanan atau menjadi istri, yang membuatnya nyaman.

Intinya, ada klimaks pada berbagai posisi. Tak peduli dia seorang Gubernur atau seorang Pelacur sekalipun. Ada klimaks berupa harapan-harapan dan impian yang aman dan nyaman. Sekarang. Letakkan kaki anda di antara kedua-duanya. Rasakan, dan ungkapkan. Karena pada akhirnya kebenaran (bukan fakta), tidak mutlak menjadi milik kita. Inilah yang penting dilakukan sebagai seorang pewarta yang baik seperti kata-kata Sindhunata.

"Jurnalis memposisikan diri bukan lagi sebagai pelapor, tetapi menjadi pribadi yang ikut laku dan lelaku (Tirakat dan keprihatinan) dari mereka yang 'melakoni' peristiwa"

Dan pada akhirnya ini persoalan humanisme. Bagi saya posisi humanis berada di atas vonis kebenaran yang dibuat manusia sekalipun! Dan kenapa mengaitkan rasa dalam profesi sebagai pewarta? Karena melibatkan rasa, erat dengan kemanusiaan itu sendiri. Mudah-mudahan dengan memanfaatkan rasa ini, para pewarta bisa Coverboth Side bersama fakta-fakta yang didapatnya. Amien..

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar