Kami Hanya Memberitahu, Selalu Berharap Nasib Mereka Lebih Baik

Namanya Fadillah, usia satu setengah tahun. Dia belum mampu bicara saat saya menemuinya di tempat penampungan sementara, korban tenggelam kapal Trisal Pratama. Dia hanya bisa menangis, sebab baru saja kehilangan ibu dan bapaknya. Ibunya bernama Rosidah, ayahnya Syarifudin Nasaru bekerja di Kapal Trisal sebagai Muallim. Keduanya hilang, bersama sepuluh orang lainnya, saat kapal Trisal bertabrakan dengan Kapal Indimatam. Fadillah bersama sepuluh orang lainnya berhasil selamat.

Tapi jujur, saya tidak tahu apakah Fadillah yang masih kecil itu sudah mengetahui kalau ibu dan bapaknya hingga kini belum ditemukan. Andre, salah seorang anak buah kapal Trisal yang saya ganggu dengan pertanyaan hanya mengatakan, Fadillah tidak terbiasa dengan banyak orang yang ditemuinya. Ya, termasuk saya barangkali. Sebab saya mengganggu Andre dengan pertanyaan bertubi-tubi, sementara Fadillah masih berada dalam gendongannya.

Saya merasa mengganggu Fadillah di sebuah lorong sempit di Jalan Gunung Merapi sore itu. Kau tahu kenapa saya harus mengganggunya. Sebab tuntutan pekerjaan barangkali. Berulangkali saya mengeluarkan senyum sembul, membujuk Fadillah untuk tidak menangis. Dan itu, sedikit berhasil memang. Lalu berceritalah Andre dengan pertanyaan-pertanyaan saya, perihal yang menimpa Fadillah saat terapung di lautan yang dalam 300 meter selama hampir empat jam lamanya.

Yang membuatku sakit hati saat tanya jawab itu sedang berlangsung, ketika salah seorang korban tenggelam lainnya berteriak. "Hei kau wartawan, berhentilah mewawancarai kami. Kau tahu, kami ini masih capek, trauma. Belum ada yang membantu kami. Kau ini seenaknya wawancara, kau dapat uang kami belum jelas nasibnya," kata dia. Saya menebaknya, ia adalah seorang masinis yang selamat.

Sangat jelas saya mendengar teriakan itu di kepala saya. Lalu, saat itu juga saya menghentikan wawancara. Begitu juga Andre yang masih menggendong Fadillah buru-buru menuruti permintaan masinis yang selamat itu, menjauh dari saya. "Jangan wawancara kami lagi. Nasib kami ini belum jelas. Masih trauma," teriaknya, yang hanya berjarak lima meter dengan saya. Saat itu, saya tinggal wartawan seorang diri. Sebelumnya, Rachel Marimbunna dari Metro TV sudah melakukan wawancara dan sempat pamit dengan cara baik-baik.

Saat diteriaki itu, tentu saya merasa dongkol tak berdaya. Saya merasa sedih dan sakit hati tentu saja. Saya berusaha mendekati masinis itu, dan mengelus pundaknya seraya menenangkannya dari emosi. "Iya pak, saya mengerti saya sudah berhenti wawancara. Sabar pak ya. Maafkan saya kalau kedatangan saya masih mengganggu," ungkap saya dengan nada yang sangat merendah.

Saya bergegas segera membawa motor, meski tas, saya mintakan kepada Andre untuk diambil ke dalam rumah penampungan. "Tolong ambilkan tas saya pak. Ketinggalan di dalam rumah," ucap saya kepada Andre, sebab masinis sudah sangat emosi waktu itu, seolah mengancam saya untuk tidak masuk ke dalam rumah penampungan sementara.

Di perjalanan pulang, saya terus berdoa dan bertanya kepada tuhan. Salahkah saya, yang meminta penjelasan kepada para korban yang terkena musibah. Berdoa, saya berharap kedua orangtua Fadillah bisa segera ditemukan. Kalau toh tidak, saya berharap Fadillah bisa hidup lebih baik, daripada tempatnya selama ini di atas kapal Trisal mengikuti pekerjaan orangtuanya.

Tuhan sebenarnya dalam hati, saya sedih dan menangis. Pekerjaan sebagai wartawan itu adalah pekerjaan berat. Saya tahu itu, pekerjaan ini tak ubahnya mengganggu hidup orang. Tapi, beruntunglah, kesedihan itu tak bertahan lama. Sebab, pekerjaan ini saya anggap pekerjaan Malaikat barangkali. Kau tahu, malaikat itu selalu mengabari sesuatu entah baik atau buruk.

Keesokan harinya, saya mengumpulkan duit saya seadanya, dan menitipkan kepada Ibu Nurdin, pemilik rumah penampungan. Saya menjabat langsung tangan ibu Nurdin sembari menempelkan duit seadanya di tangan si ibu. "Dari Tempo ya. Ayo masuk--masuk dulu, ketemu Andre dan Fadillah. Fadillah, lagi keluar sebentar diajak omanya datang dari Gorontalo," ujar ibu Nurdin sambil sedikit memaksa saya masuk ke rumah penampungan.

Tapi saya menolak, sambil memegang pundak layaknya sang anak memelas kepada ibunya. "Tidak usah bu'. Ini buat Fadillah, semoga bermanfaat. Saya minta maaf atas sikap saya yang lancang melakukan wawancara kemarin," jawab saya singkat dan langsung meninggalkan ibu itu. Semoga hidup Fadillah lebih terurus dan terawat Tuhanku yang baik, Amin.

Comments

  1. Amiable post and this mail helped me alot in my college assignement. Say thank you you as your information.

    ReplyDelete

Post a Comment

sekedar jejak..

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Thoeng dan Pecinan di Makassar