Surat Tukang Catat Kepada Tukang Demo..
Apa kabar kalian disana yang mungkin sedang berdiskusi atau mengatur aksi untuk persiapan demonstrasi esok hari. Salam juga buat jenderal lapangan kalian dan organ-organ yang tergabung di dalamnya ya.
Saya tidak akan memanggil kalian dengan panggilan kawan. Sebab saya tahu kalian bukan aktivis, yang kerap memanggil kerabatnya dengan panggilan itu. Bagi saya aktivis adalah nilai sempurna buat mereka yang betul-betul berjuang atas nama keadilan dan perjuangan rakyat. Rakyat, ya, mudah mudahan saya tidak berlebihan.
Jadi saya akan tak akan memanggil kalian dengan sebutan aktivis, biasanya masih ada yang alergi dengan panggilan itu. Toh, saya pernah merasakannya saat masih menjadi mahasiswa.
Saya akan memanggil kalian dengan panggilan teman. Ya, teman. Sebab kita masih satu profesi. Kalian tukang dan saya tukang. Kalian tukang demo dan saya tukang catat, apa yang kalian demo.
Saya bukan tidak tahu apa itu berdemontrasi, teman. Tak usahlah saya bacakan kamus bermakna demonstrasi. Di perkuliahan, saya masih ingat apa itu demonstrasi : Jalan terakhir dalam tingkatan demokrasi. Itulah demontrasi teman.
Kalau demonstrasi adalah tingkatan terakhir memperjuangkan demokrasi, saya bertanya teman. apa yang kalian perjuangkan. Maka saya menyimpulkan jawabannya. Ambisi politik barangkali. Kalau istilah politik, bagi saya sudah bermakna kekuasaan. Menurut dosen saya, yang tak cerdas-cerdas amat itu (tak usah saya sebutkan yah), politik adalah jalan atau alat untuk mencapai kekuasaan. Nah, jalan atau alatnya itu berupa apa, untuk mencapai kekuasaan ?
Nah, ini sudah hampir mendekati dirimu teman. Jalan atau alat itu adalah lewat organisasi atau lembaga apalah yang sering kalian bentan-bentangkan. Atas nama lembaga ini--itu, kalian memperjuangkan masyarakat. Tapi saya meralat teman, tak semua lembaga atau organisasimu itu berambisi politik. Masih ada lembaga mahasiswa kampus dalam pengamatan saya murni memperjuangkan rakyat. Tujuannya, tentu sebagai proses pembelajaran, dan menanamkan idealisme. Ya, idealis.. semoga masih ada di benak lembaga mahasiswa itu.
Tapi, bagaimana dengan lembaga di luar kampus teman. Lembaga ini--itu yang kauperjuangkan atas nama rakyat yang tertindas. Saya, yang kebetulan bekerja sebagai tukang catat sungguh-sungguh kecewa teman. Atas nama seniormu, yang duduk di legislatif sana kau menutup diri, menutup mata. Seringkali kau bicara atas nama rakyat, berantas korupsi sana-sini. Tapi seniormu yang korupsi tak kau urus.
Pernah saya dicaci seniormu yang duduk manis di legislatif sana. Waktu itu, saya terburu-buru mengejarnya, dan bertanya perihal indikasi kasus korupsi.
Tahu apa jawabnya teman? Dia, sedikit mengancam dengan nada yang halus-halus sangat. Katanya : janganlah kausinggung masalah ini. Nanti kamu masuk neraka. Tidak bisakah ada, kasus lain yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Mendengar pernyataan seniormu, dalam hati saya bertanya. "Pak, kasus ini besar kaitannya loh dengan kesejahteraan masyarakat. Korupsi dengan kesejahteraan masyarakat terkait loh pak?"
Nah. Sampai disitu saya bercerita teman, esoknya engkau langsung menggelar demonstrasi menuntut penuntasan indikasi kasus korupsi ini. Saya salut tentu saja. Saya memuji keberanianmu, yang menentang seniormu duduk manis di legislatif sana.
Waktu terus berjalan, saya masih salut dengan lembagamu yang menentang seniormu duduk di dewan sana. Hingga suatu ketika kau diam. Ya kau diam. Dan hinga saat ini kau tak pernah bicara lagi. Banyak orang bilang kau sudah dibungkam. Dibungkam oleh apa. Bukan saya yang perlu menjawabnya teman. Tapi nantilah, kau dibungkam karena apa akan saya cari tahu.
Siapa tahu kita masih ketemu di lapangan. Kau sebagai tukang demo, dan saya sebagai tukang catat. Kalau kau masih tak berbicara juga, itu sebabnya saya mengirim surat ini kepadamu teman. Sampai kapanpun kutunggu jawabanmu.
Suatu saat, kelak engkau menggantikan seniormu duduk manis di dewan sana. Masih bisakah saya mengirim surat menyurat seperti ini.
Salam saya, tukang catat
Saya tidak akan memanggil kalian dengan panggilan kawan. Sebab saya tahu kalian bukan aktivis, yang kerap memanggil kerabatnya dengan panggilan itu. Bagi saya aktivis adalah nilai sempurna buat mereka yang betul-betul berjuang atas nama keadilan dan perjuangan rakyat. Rakyat, ya, mudah mudahan saya tidak berlebihan.
Jadi saya akan tak akan memanggil kalian dengan sebutan aktivis, biasanya masih ada yang alergi dengan panggilan itu. Toh, saya pernah merasakannya saat masih menjadi mahasiswa.
Saya akan memanggil kalian dengan panggilan teman. Ya, teman. Sebab kita masih satu profesi. Kalian tukang dan saya tukang. Kalian tukang demo dan saya tukang catat, apa yang kalian demo.
Saya bukan tidak tahu apa itu berdemontrasi, teman. Tak usahlah saya bacakan kamus bermakna demonstrasi. Di perkuliahan, saya masih ingat apa itu demonstrasi : Jalan terakhir dalam tingkatan demokrasi. Itulah demontrasi teman.
Kalau demonstrasi adalah tingkatan terakhir memperjuangkan demokrasi, saya bertanya teman. apa yang kalian perjuangkan. Maka saya menyimpulkan jawabannya. Ambisi politik barangkali. Kalau istilah politik, bagi saya sudah bermakna kekuasaan. Menurut dosen saya, yang tak cerdas-cerdas amat itu (tak usah saya sebutkan yah), politik adalah jalan atau alat untuk mencapai kekuasaan. Nah, jalan atau alatnya itu berupa apa, untuk mencapai kekuasaan ?
Nah, ini sudah hampir mendekati dirimu teman. Jalan atau alat itu adalah lewat organisasi atau lembaga apalah yang sering kalian bentan-bentangkan. Atas nama lembaga ini--itu, kalian memperjuangkan masyarakat. Tapi saya meralat teman, tak semua lembaga atau organisasimu itu berambisi politik. Masih ada lembaga mahasiswa kampus dalam pengamatan saya murni memperjuangkan rakyat. Tujuannya, tentu sebagai proses pembelajaran, dan menanamkan idealisme. Ya, idealis.. semoga masih ada di benak lembaga mahasiswa itu.
Tapi, bagaimana dengan lembaga di luar kampus teman. Lembaga ini--itu yang kauperjuangkan atas nama rakyat yang tertindas. Saya, yang kebetulan bekerja sebagai tukang catat sungguh-sungguh kecewa teman. Atas nama seniormu, yang duduk di legislatif sana kau menutup diri, menutup mata. Seringkali kau bicara atas nama rakyat, berantas korupsi sana-sini. Tapi seniormu yang korupsi tak kau urus.
Pernah saya dicaci seniormu yang duduk manis di legislatif sana. Waktu itu, saya terburu-buru mengejarnya, dan bertanya perihal indikasi kasus korupsi.
Tahu apa jawabnya teman? Dia, sedikit mengancam dengan nada yang halus-halus sangat. Katanya : janganlah kausinggung masalah ini. Nanti kamu masuk neraka. Tidak bisakah ada, kasus lain yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Mendengar pernyataan seniormu, dalam hati saya bertanya. "Pak, kasus ini besar kaitannya loh dengan kesejahteraan masyarakat. Korupsi dengan kesejahteraan masyarakat terkait loh pak?"
Nah. Sampai disitu saya bercerita teman, esoknya engkau langsung menggelar demonstrasi menuntut penuntasan indikasi kasus korupsi ini. Saya salut tentu saja. Saya memuji keberanianmu, yang menentang seniormu duduk manis di legislatif sana.
Waktu terus berjalan, saya masih salut dengan lembagamu yang menentang seniormu duduk di dewan sana. Hingga suatu ketika kau diam. Ya kau diam. Dan hinga saat ini kau tak pernah bicara lagi. Banyak orang bilang kau sudah dibungkam. Dibungkam oleh apa. Bukan saya yang perlu menjawabnya teman. Tapi nantilah, kau dibungkam karena apa akan saya cari tahu.
Siapa tahu kita masih ketemu di lapangan. Kau sebagai tukang demo, dan saya sebagai tukang catat. Kalau kau masih tak berbicara juga, itu sebabnya saya mengirim surat ini kepadamu teman. Sampai kapanpun kutunggu jawabanmu.
Suatu saat, kelak engkau menggantikan seniormu duduk manis di dewan sana. Masih bisakah saya mengirim surat menyurat seperti ini.
Salam saya, tukang catat
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..