Sepotong kertas yang membunuh Ahmad
Kesehariannya itu-itu juga, berkutat dengan rutinitas yang sama. Jam delapan pagi masuk kantor, jam empat sore pulang kantor. Pernah suatu ketika ia berteriak di rumahnya, setelah lima tahun menjalani pekerjaan seperti itu.
"Aku Bosaannnnn!!!!!, Saangat bosan," teriaknya di dalam rumah yang dihuninya sendiri. Rumah itu, adalah satu-satunya warisan orang tua yang ditinggal mati karena kecelakaan pesawat dua tahun lalu.
Sebagai sekretaris sebuah perusahaan. Seorang lelaki sebenarnya tak layak menyandang profesi itu. Tapi sang bos, tau siapa pemuda ini. "saya ini dipekerjakan oleh bos, karena almarhum bapak saya dulunya akrab dengan beliau." katanya singkat.
Gaji yang lumayan sebagai seorang sekretaris perusahaan. Ia hanya cukup menyediakan koran di waktu pagi untuk si bos. Menyiapkan jadwal acara, dan sesekali menyiapkan kopi. Itu jika sekretaris perempuan yang satunya sudah pulang tentu saja.
"Yah, itulah pekerjaan saya. Seolah semuanya sudah terjadwal dengan membosankan. kau tau... Membosankan !!" ungkapnya dengan nada sedikit kesal.
######***#####
Pemuda ini bernama Andi. Saya mengenalnya sekitar lima tahun lalu sebagai sesama mahasiswa yang ingin belajar menulis. Saya tau dia sangatlah berbakat. Saking berbakatnya, guru menulis saya pun seringkali memujinya. Hampir setiap kali, ia mendapatkan urutan pertama penilaian menulis, dalam kontes kecil-kecilan lomba menulis yang diadakan guru menulis saya.
"San..., kau tau apa yang membuat kita bisa menulis dengan baik ??," katanya kepada saya suatu kali.
"Tidak, menurutmu apa." jawab saya dengan penuh tanya.
"Hahaaa... kebebasan barangkali, itulah jawabannya. Kau tau kalo runitas yang berulang itu, bisa membunuh kreativitas kita sebagai penulis. Setiap kali, saya selalu berprinsip jangan melakukan sesuatu yang itu-itu juga." katanya dengan penuh meyakinkan.
Rutinitas membunuh kreativitas, rutinitas membunuh kreativitas, hal yang berulang-ulang bisa membunuh kreativitas. Tiga kata itu, memang menghantui saya. Taulah, semasa mahasiswa dulu. Tidak pernah saya membayangkan menjadi seorang penulis. Saya hanya berkutat pada tugas kuliah dan kegiatan ekstrakurikuler. Ya, hanya itu dan memang selalu membosankan.
Lalu lima tahun berlalu, kebetulan mempertemukan saya dengan pemuda ini. Pemuda yang sudah kelihatan mapan, tetapi wajahnya masih nampak kurang puas. Saya dijadwalkan untuk mewawancarai bosnya, untuk sebuah terbitan majalah. Ia melayani saya mempersiapkan segalanya. Menawarkan kopi, majalah untuk bacaan sambil menunggu.
Saya mengenalnya tentu saja, dan barangkali ia sudah melupakan saya. Akhirnya saya menyapa duluan, setelah perjumpaan kami terkahir yang lama, semasa kuliah dan masih belajar menulis.
"Ya, beginilah saya.. tapi lumayanlah gaji disini. Tidak banyak bekerja dan gaji besar."
"Kamu, ke rumahlah jalan-jalan. kita mengobrol banyak disana.. bagaimana ?? "
Saya, mengiyakan permintaan kawan lama saya itu. Setelah menyelesaikan sedikit wawancara dengan bosnya. Andi, menjemput saya dengan mobil mewahnya yang sudah menunggu.
Diperjalanan, ia mengungkap kebosanannya di tempat kerja selama ini. Seolah mengumpat dengan nada suara agak tinggi, ia selalu saja mencaci bosnya di tempat kerja. Ia mengaku kepada saya, jika bosnya tidak pernah memberikan peluang kepadanya untuk berkembang.
"Kau masih ingat khan kalimat ini. Rutinitas selalu membunuh kreativitas... AAAAkkkhhhh," teriakannya menyadarkan saya, dan berusaha membuatnya sabar.
"Sabarlah kawan. paling tidak kamu beruntung memiliki gaji besar disana dibandingkan rutinitas bangsat yang selalu kaucaci maki itu.." ungkap saya..
Dan saya tau, Andi tetaplah seorang pemuda yang kreativ sampai sekarang yang saya kenal.
Pemuda ini. Nama lengkap sebenarnya bukanlah, Andi. Tapi, Ahmad Anggoro Dwijaya. Ia hanya menyingkatnya menjadi Andi. Biar keren katanya. Juga biar bisa menjadi nama atau inisial sebagaimana penulis besar yang selalu menyembunyikan identitas asli. Ya itulah cita-citanya dahulu. Menjadi penulis besar, Andi.
Sebagaimana cita-cita saya juga. Di rumahnya yang lebih dari sederhana, kami nostalgia masa lalu saat belajar menjadi penulis. Diam-diam, saya mendatangi kamarnya. Mencoba melihat apakah ia masih memiliki buku yang banyak, referensi dan sejarah sebagai bahan tulis sebagaimana ia mendambakannya dahulu..
Tidak !!... saya sudah tidak menemukan banyak buku, referensi sejarah miliknya seperti dahulu lagi. Tapi saya menemukan, satu kertas kecil lusuh yang tertempel di lemari. Ita selalu membunuh Ati. Tentu saja saya selalu ingat dengan kalimat itu. Ita selalu bunuh Ati.
Saya bahkan selalu mengulangnya ulangnya dalam hati sebagai motivasi menulis saya. Bahkan, sampai sekarang saya masih membawa kertas bertuliskan sama.
Rutinitas memang selalu membunuh Kreativitas. Dan itulah motivasi menulis pertama saya yang diperkenalkan Andi. Jika tidak bisa menulis, saya melihat lagi kalimat ini, Ita selalu membunuh Ati.. Ita selalu membunuh Ati.. dan terus mengaung di kepala saya.
Rutinitas memang membunuh kreativitas.... Rutinitas itu, yaaa, sebagaimana ia membunuh Ahmad.
Kini Andi hanya tersisa dari kenangan masa lalu di kertas tertempel : Ita selalu membunuh Ati-Rutinitas selalu membunuh Kreativitas...
"Aku Bosaannnnn!!!!!, Saangat bosan," teriaknya di dalam rumah yang dihuninya sendiri. Rumah itu, adalah satu-satunya warisan orang tua yang ditinggal mati karena kecelakaan pesawat dua tahun lalu.
Sebagai sekretaris sebuah perusahaan. Seorang lelaki sebenarnya tak layak menyandang profesi itu. Tapi sang bos, tau siapa pemuda ini. "saya ini dipekerjakan oleh bos, karena almarhum bapak saya dulunya akrab dengan beliau." katanya singkat.
Gaji yang lumayan sebagai seorang sekretaris perusahaan. Ia hanya cukup menyediakan koran di waktu pagi untuk si bos. Menyiapkan jadwal acara, dan sesekali menyiapkan kopi. Itu jika sekretaris perempuan yang satunya sudah pulang tentu saja.
"Yah, itulah pekerjaan saya. Seolah semuanya sudah terjadwal dengan membosankan. kau tau... Membosankan !!" ungkapnya dengan nada sedikit kesal.
######***#####
Pemuda ini bernama Andi. Saya mengenalnya sekitar lima tahun lalu sebagai sesama mahasiswa yang ingin belajar menulis. Saya tau dia sangatlah berbakat. Saking berbakatnya, guru menulis saya pun seringkali memujinya. Hampir setiap kali, ia mendapatkan urutan pertama penilaian menulis, dalam kontes kecil-kecilan lomba menulis yang diadakan guru menulis saya.
"San..., kau tau apa yang membuat kita bisa menulis dengan baik ??," katanya kepada saya suatu kali.
"Tidak, menurutmu apa." jawab saya dengan penuh tanya.
"Hahaaa... kebebasan barangkali, itulah jawabannya. Kau tau kalo runitas yang berulang itu, bisa membunuh kreativitas kita sebagai penulis. Setiap kali, saya selalu berprinsip jangan melakukan sesuatu yang itu-itu juga." katanya dengan penuh meyakinkan.
Rutinitas membunuh kreativitas, rutinitas membunuh kreativitas, hal yang berulang-ulang bisa membunuh kreativitas. Tiga kata itu, memang menghantui saya. Taulah, semasa mahasiswa dulu. Tidak pernah saya membayangkan menjadi seorang penulis. Saya hanya berkutat pada tugas kuliah dan kegiatan ekstrakurikuler. Ya, hanya itu dan memang selalu membosankan.
Lalu lima tahun berlalu, kebetulan mempertemukan saya dengan pemuda ini. Pemuda yang sudah kelihatan mapan, tetapi wajahnya masih nampak kurang puas. Saya dijadwalkan untuk mewawancarai bosnya, untuk sebuah terbitan majalah. Ia melayani saya mempersiapkan segalanya. Menawarkan kopi, majalah untuk bacaan sambil menunggu.
Saya mengenalnya tentu saja, dan barangkali ia sudah melupakan saya. Akhirnya saya menyapa duluan, setelah perjumpaan kami terkahir yang lama, semasa kuliah dan masih belajar menulis.
"Ya, beginilah saya.. tapi lumayanlah gaji disini. Tidak banyak bekerja dan gaji besar."
"Kamu, ke rumahlah jalan-jalan. kita mengobrol banyak disana.. bagaimana ?? "
Saya, mengiyakan permintaan kawan lama saya itu. Setelah menyelesaikan sedikit wawancara dengan bosnya. Andi, menjemput saya dengan mobil mewahnya yang sudah menunggu.
Diperjalanan, ia mengungkap kebosanannya di tempat kerja selama ini. Seolah mengumpat dengan nada suara agak tinggi, ia selalu saja mencaci bosnya di tempat kerja. Ia mengaku kepada saya, jika bosnya tidak pernah memberikan peluang kepadanya untuk berkembang.
"Kau masih ingat khan kalimat ini. Rutinitas selalu membunuh kreativitas... AAAAkkkhhhh," teriakannya menyadarkan saya, dan berusaha membuatnya sabar.
"Sabarlah kawan. paling tidak kamu beruntung memiliki gaji besar disana dibandingkan rutinitas bangsat yang selalu kaucaci maki itu.." ungkap saya..
Dan saya tau, Andi tetaplah seorang pemuda yang kreativ sampai sekarang yang saya kenal.
Pemuda ini. Nama lengkap sebenarnya bukanlah, Andi. Tapi, Ahmad Anggoro Dwijaya. Ia hanya menyingkatnya menjadi Andi. Biar keren katanya. Juga biar bisa menjadi nama atau inisial sebagaimana penulis besar yang selalu menyembunyikan identitas asli. Ya itulah cita-citanya dahulu. Menjadi penulis besar, Andi.
Sebagaimana cita-cita saya juga. Di rumahnya yang lebih dari sederhana, kami nostalgia masa lalu saat belajar menjadi penulis. Diam-diam, saya mendatangi kamarnya. Mencoba melihat apakah ia masih memiliki buku yang banyak, referensi dan sejarah sebagai bahan tulis sebagaimana ia mendambakannya dahulu..
Tidak !!... saya sudah tidak menemukan banyak buku, referensi sejarah miliknya seperti dahulu lagi. Tapi saya menemukan, satu kertas kecil lusuh yang tertempel di lemari. Ita selalu membunuh Ati. Tentu saja saya selalu ingat dengan kalimat itu. Ita selalu bunuh Ati.
Saya bahkan selalu mengulangnya ulangnya dalam hati sebagai motivasi menulis saya. Bahkan, sampai sekarang saya masih membawa kertas bertuliskan sama.
Rutinitas memang selalu membunuh Kreativitas. Dan itulah motivasi menulis pertama saya yang diperkenalkan Andi. Jika tidak bisa menulis, saya melihat lagi kalimat ini, Ita selalu membunuh Ati.. Ita selalu membunuh Ati.. dan terus mengaung di kepala saya.
Rutinitas memang membunuh kreativitas.... Rutinitas itu, yaaa, sebagaimana ia membunuh Ahmad.
Kini Andi hanya tersisa dari kenangan masa lalu di kertas tertempel : Ita selalu membunuh Ati-Rutinitas selalu membunuh Kreativitas...
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..