angko Pong yang bijaksana
saya tau kau tidak mengenalnya. ia bukan penyair, bukan politisi juga bukan pemain sinetron. matanya sipit, rambutnya putih, tubuhnya kekar, juga pandai berbahasa lantang, bahasa makassar. saya juga tau dia bukan cina totok. seharihari saya mengamatinya. angko Pong, barangkali hanya memiliki selembar baju dan celana yang ituitu juga. saya pikir dia kaya, karena seharihari mengawasi mobil kanvas yang masuk di gudang dekat rumahnya.
makanannya hanya kopi hitam pahit yang kental dengan sedikit gula serta sebungkus rokok kretek. ceritaceritanya kadang terasa hambar mengulang satu duakali yang ituitu juga. tapi kami yang mengenalnya sangat tau-ia setia di tempat itu. tempat melepas lelah para pekumpul pemain domino di warung kopi sederhana tempat tukang becak mengutang. rumahnya tidak jauh dari warung dan biasa tergopoh membawa kunci buka gudang jika mobil kanvas telah tiba. adikadiknya kini menggunakan mobil dan memiliki segudang usaha dagang. ia tidak menikah entah karena sesuatu yang tidak pernah disesalinya hingga sekarang. ia mengangap anak seorang pemilik warung kopi karena sering menasehatinya. jika sakit ia tidak pernah mengeluh. sakit hanya diobati dengan sebuah bawang bombay yang dilahapnya setiap pagi bersama secangkir kopi. begitu kata adiknya.
suatu kali ia pernah bercerita dirinya perenang yang hebat. pernah mengikuti kejuaraan nasional. juga pernah menjadi pelatih renang. ia memiliki sahabat seorang dokter, namanya dokter Soemantri. dokter soemantri sangat terkenal di tempat para pengusaha hiburan malam. ia juga bercerita pernah menjadi tukang bawa mobil kanvas dan memiliki seorang ahli mekanik yang kaya raya. jika ada polisi berpakaian preman ikut nongkrong, tak jarang ia bercerita perihal kolonel ini-jenderal itu, teman saya katanya. saya juga tau kalau dia teramat baik dan sopan sampai selalu duluan menyapa saya atau kami yang berada di tempat itu. mengingat ceritanya saya sampai berpikir, siapakah orang tua ini-selalu bercerita dan menasehati yang hebathebat.
tapi saya maupun kami yang berada di warung itu tau bahwa ia harus dihormati karena menghormati kami-bagaimanapun ia. menghormati kami pertamakali tentu saja. tidak pernah mengeluh, tapi suka protes mengakui sudut pandangnya. saya menghormati sebagai seorang bapak tentu saja. begitupun kami yang hanya bisa megangguk dan berkata tidak dalam hati, meski terus mengangguk iya-iya betul. tapi saya dan barangkali kami tau bahwa ia tidak selamanya benar. karena itu setiap akhir cerita selalu diselipkan sudutpandangnya dan mengakui kalau itu perjalanan hidup yang pernah dilakoninya.
dan kami tidak akan pernah bosan mendengar ceritanya, karena kami tau ia seorang yang bijaksana. saya menduga saking bijaksananya ia mati dalam keadaan betulbetul tenang. sehari sebelum ia pergi. kami masih sempat bercengkrama menikmati kopi dan sebatang rokok. tidak ada pesan dan tanda bahwa ia akan segera pergi. saat terbaring di rumahnya. sang adik memanggilnya seperti biasa untuk bangun di pagi hari. tapi ia sudah tak bergerak dan mati dalam pembaringan tanpa sakit yang menyusahkan.
saya dan kami samasama tau rindu akan ceritanya. tapi, ceritacerita yang pernah kami dengar terbayar saat pemakaman akan tiba. dokter soemantri dan beberapa orang yang tidak kami kenal tiba di pemakaman oleh teriakan seorang pelanggan di warung langganan kami.
"ituitu dokter soemantri, ituitu ahli mekanik, ituitu perenang handal dulu, ituitu kolonel ini jenderal itu, ituitu adiknya yang sudah berhasil, ituitu orang yang pernah diselamatkannya dulu, ituitu..."
kami tau dia seorang bijak hingga matinya pun begitu.
temantemannya yang berdatangan itu lalu berkata, saya juga ingin mati seperti angko Pong yang tidak menyusahkan. begitu kata temannya yang "ituituitu...."
selamat jalan Anko Pong, teman cerita yang bijak dan baik hati.
barangkali tuhan menguji kami, kapan seseorang harus disebut bijaksana, hingga memilih cara mati yang begitu pula...
makanannya hanya kopi hitam pahit yang kental dengan sedikit gula serta sebungkus rokok kretek. ceritaceritanya kadang terasa hambar mengulang satu duakali yang ituitu juga. tapi kami yang mengenalnya sangat tau-ia setia di tempat itu. tempat melepas lelah para pekumpul pemain domino di warung kopi sederhana tempat tukang becak mengutang. rumahnya tidak jauh dari warung dan biasa tergopoh membawa kunci buka gudang jika mobil kanvas telah tiba. adikadiknya kini menggunakan mobil dan memiliki segudang usaha dagang. ia tidak menikah entah karena sesuatu yang tidak pernah disesalinya hingga sekarang. ia mengangap anak seorang pemilik warung kopi karena sering menasehatinya. jika sakit ia tidak pernah mengeluh. sakit hanya diobati dengan sebuah bawang bombay yang dilahapnya setiap pagi bersama secangkir kopi. begitu kata adiknya.
suatu kali ia pernah bercerita dirinya perenang yang hebat. pernah mengikuti kejuaraan nasional. juga pernah menjadi pelatih renang. ia memiliki sahabat seorang dokter, namanya dokter Soemantri. dokter soemantri sangat terkenal di tempat para pengusaha hiburan malam. ia juga bercerita pernah menjadi tukang bawa mobil kanvas dan memiliki seorang ahli mekanik yang kaya raya. jika ada polisi berpakaian preman ikut nongkrong, tak jarang ia bercerita perihal kolonel ini-jenderal itu, teman saya katanya. saya juga tau kalau dia teramat baik dan sopan sampai selalu duluan menyapa saya atau kami yang berada di tempat itu. mengingat ceritanya saya sampai berpikir, siapakah orang tua ini-selalu bercerita dan menasehati yang hebathebat.
tapi saya maupun kami yang berada di warung itu tau bahwa ia harus dihormati karena menghormati kami-bagaimanapun ia. menghormati kami pertamakali tentu saja. tidak pernah mengeluh, tapi suka protes mengakui sudut pandangnya. saya menghormati sebagai seorang bapak tentu saja. begitupun kami yang hanya bisa megangguk dan berkata tidak dalam hati, meski terus mengangguk iya-iya betul. tapi saya dan barangkali kami tau bahwa ia tidak selamanya benar. karena itu setiap akhir cerita selalu diselipkan sudutpandangnya dan mengakui kalau itu perjalanan hidup yang pernah dilakoninya.
dan kami tidak akan pernah bosan mendengar ceritanya, karena kami tau ia seorang yang bijaksana. saya menduga saking bijaksananya ia mati dalam keadaan betulbetul tenang. sehari sebelum ia pergi. kami masih sempat bercengkrama menikmati kopi dan sebatang rokok. tidak ada pesan dan tanda bahwa ia akan segera pergi. saat terbaring di rumahnya. sang adik memanggilnya seperti biasa untuk bangun di pagi hari. tapi ia sudah tak bergerak dan mati dalam pembaringan tanpa sakit yang menyusahkan.
saya dan kami samasama tau rindu akan ceritanya. tapi, ceritacerita yang pernah kami dengar terbayar saat pemakaman akan tiba. dokter soemantri dan beberapa orang yang tidak kami kenal tiba di pemakaman oleh teriakan seorang pelanggan di warung langganan kami.
"ituitu dokter soemantri, ituitu ahli mekanik, ituitu perenang handal dulu, ituitu kolonel ini jenderal itu, ituitu adiknya yang sudah berhasil, ituitu orang yang pernah diselamatkannya dulu, ituitu..."
kami tau dia seorang bijak hingga matinya pun begitu.
temantemannya yang berdatangan itu lalu berkata, saya juga ingin mati seperti angko Pong yang tidak menyusahkan. begitu kata temannya yang "ituituitu...."
selamat jalan Anko Pong, teman cerita yang bijak dan baik hati.
barangkali tuhan menguji kami, kapan seseorang harus disebut bijaksana, hingga memilih cara mati yang begitu pula...
Comments
Post a Comment
sekedar jejak..