Karya Bagus Juga Berangkat dari Rasa Cemburu
Saya tidak biasa mengumpat. Tetapi terbiasa menyindir dengan bahasa yang satire. Itupun dengan satire yang halus-halus sangat. Meminjam istilah Malaysie yang halus itu. Cuma barangkali saya terbiasa menyinggung dengan bahasa yang menurutku halus sangat itu, tidak mudah dimengerti orang. Bahasa satire saya itu juga pas-pasan untuk ukuran puisi atau sajak, juga cerpen. Sesekali satire itu juga biasa saya salurkan melalui artikel yang menyindir dengan berbagai perumpamaan. Entah dimengerti atau tidak, namun seperti itulah mengkritik yang baik melalui tulisan. Jika dibandingkan dengan kritik terbuka, melalui puisi atau sajak yang lurus-lurus saja. Sayakira itu bukan lagi sebuah satire, namun betulbetul mengumpat. Saya mengambil contoh puisi terbuka dari Asdar Muis RMS, ataukah seseorang yang mengatasnamakan penyair semisal Andhika Mappasomba adalah dua ‘penyair’ yang menurut saya bukan penyair.
Bahasa-bahasa puisi seperti itu masih bisa dilakukan oleh seorang anak SMP sekalipun. Karena itu, seorang penyair makassar bukan lagi saatnya mengumpat sesuatu melalui puisi yang tidak satire. Untuk ukuran puisi satire di Makassar terdapat beberapa penyair, salah satunya adalah Martan Aan Mansyur. Meski hampir semua sajaknya tidak selalu bernada satire, namun Aan cerdik menggambarkan pengandaian dengan pemilahan kata yang sangat indah dan menyenangkan. Beberapa puisinya bisa dikatakan pengandaian yang kritik tetapi bukan mengumpat. Paling tidak apa yang digambarkan seorang Aan Mansyur untuk sebuah sajak satire, memberi gambaran mengenai sindiran halus pada ruang-ruang sastra seperti puisi sajak maupun cerpen. Dan proses untuk mencapai itu saya yakin tidak mudah bagi Aan yang pernah menembus ruang-ruang sajak sastra di harian kompas minggu.
Tetapi seorang sastrawan besar sekalipun menurut saya tidak selalu merasa harus disanjung setinggi-tingginya. Karena itu tantangan bagi kita sebagai ‘penulis’ muda untuk terus berkarya menghasilkan generasi baru setelah Aan. Sewajarnyalah kita melakukan kritik melalui tulisan Martan Aan Mansyur, dengan nada-nada satire yang lebih indah, canggih dan dimengerti oleh banyak orang. Dengan tidak bermaksud memusuhi karya Aan Manyur. Sebagai seorang penulis pemula, saya yakin sewajarnyalah kita cemburu untuk selalu menghasilkan karya yang lebih mumpuni. Dan saya yakin kita semua merasa beruntung karena Aan Manyur telah membuka jalur baru kesusastraan di Makassar. Saya juga yakin kita semua bisa menilai karya-karya para ‘tetua’ penyair di kota ini tidak meninggalkan warisan berharga untuk mendapatkan generasi kesusastraan yang berkualitas. Karena itu, tidak ada salahnya jika kita melakukan perang sastra dalam bentuk karya sastra yang mumpuni agar kehidupan sastra di kota ini selalu berjalan dengan dinamis. Perlu diingat jika betul-betul terjadi perang sastra, hendaknya kita belajar kepada para pendahulu kita, memasukkan unsur politis didalamnya sama halnya menjatuhkan kita kepada jurang permusuhan dan menyebabkan saling klaim yang tidak satire lagi, justru sebaliknya yang ada saling mengumpat.
Akhir kata saya mengucapkan selamat ‘berperang’, semoga lahir para sastrawan baru di kota ini, seperti Aan, kak Luna , Shanti Y Rahman, Asha Ray, dan lain sebagainya...
Hehe, moon maap kalo tulisan ini tidak satire, atau apalah namanya..
..Hahaji..
Bahasa-bahasa puisi seperti itu masih bisa dilakukan oleh seorang anak SMP sekalipun. Karena itu, seorang penyair makassar bukan lagi saatnya mengumpat sesuatu melalui puisi yang tidak satire. Untuk ukuran puisi satire di Makassar terdapat beberapa penyair, salah satunya adalah Martan Aan Mansyur. Meski hampir semua sajaknya tidak selalu bernada satire, namun Aan cerdik menggambarkan pengandaian dengan pemilahan kata yang sangat indah dan menyenangkan. Beberapa puisinya bisa dikatakan pengandaian yang kritik tetapi bukan mengumpat. Paling tidak apa yang digambarkan seorang Aan Mansyur untuk sebuah sajak satire, memberi gambaran mengenai sindiran halus pada ruang-ruang sastra seperti puisi sajak maupun cerpen. Dan proses untuk mencapai itu saya yakin tidak mudah bagi Aan yang pernah menembus ruang-ruang sajak sastra di harian kompas minggu.
Tetapi seorang sastrawan besar sekalipun menurut saya tidak selalu merasa harus disanjung setinggi-tingginya. Karena itu tantangan bagi kita sebagai ‘penulis’ muda untuk terus berkarya menghasilkan generasi baru setelah Aan. Sewajarnyalah kita melakukan kritik melalui tulisan Martan Aan Mansyur, dengan nada-nada satire yang lebih indah, canggih dan dimengerti oleh banyak orang. Dengan tidak bermaksud memusuhi karya Aan Manyur. Sebagai seorang penulis pemula, saya yakin sewajarnyalah kita cemburu untuk selalu menghasilkan karya yang lebih mumpuni. Dan saya yakin kita semua merasa beruntung karena Aan Manyur telah membuka jalur baru kesusastraan di Makassar. Saya juga yakin kita semua bisa menilai karya-karya para ‘tetua’ penyair di kota ini tidak meninggalkan warisan berharga untuk mendapatkan generasi kesusastraan yang berkualitas. Karena itu, tidak ada salahnya jika kita melakukan perang sastra dalam bentuk karya sastra yang mumpuni agar kehidupan sastra di kota ini selalu berjalan dengan dinamis. Perlu diingat jika betul-betul terjadi perang sastra, hendaknya kita belajar kepada para pendahulu kita, memasukkan unsur politis didalamnya sama halnya menjatuhkan kita kepada jurang permusuhan dan menyebabkan saling klaim yang tidak satire lagi, justru sebaliknya yang ada saling mengumpat.
Akhir kata saya mengucapkan selamat ‘berperang’, semoga lahir para sastrawan baru di kota ini, seperti Aan, kak Luna , Shanti Y Rahman, Asha Ray, dan lain sebagainya...
Hehe, moon maap kalo tulisan ini tidak satire, atau apalah namanya..
..Hahaji..
selamat berperang juga, kawan! ;-)
ReplyDelete