Posts

Showing posts from December, 2008

ssssttt judulnya penjaga rahasia

Ia satpam tapi bukan satpam, penjaga pintu kadang-kadang membuka pintu kepada tamu yang masuk tapi juga bukan, cleaning service yang bukan tukang sapu. Setiap hari melayani tamu yang mendaftar tapi juga bukan tiap hari. Hingga kini ia masih bingung profesi apakah yang djalaninya kini. Sehari-hari rutinitas berulang selalu dilakukannya. Dilakukan dengan sabar, menunggu pelanggan yang itu-itu juga. Tak jarang ia tahu gerakgerik pelanggannya dengan melihat mereka dari depan pintu kaca riben yang dilapnya seharihari di waktu pagi. Tak jarang pula ia mengobrol dengan pelanggan ini hingga lupa waktu. Lupa mengobrol itu menyenangkan, lupa menjadi satpam itu sungguh nikmat, lupa setiap hari dia harus menjadi tukang sapu untuk abu rokok yang tumpah tanpa asbak. Barangkali juga lupa arti melayani ketimbang mengucap pelan “SSSSTTT, jangan ribut, SSSttt jangan keraskeras” Ia tidak bego tentu saja, karena tuhan baginya adalah satu yang maha ituitu juga. Ia ingat suatu kali pernah dimarahi oleh ayah...

ibu-pengantar bambu

Sandal karet yang hampir putus tidak mengikis semangatnya mendorong gerobak bambu dari jalanan beraspal. Tapi bukan itu yang dipikirkannya. Tak memakai sandal sekalipun ia tetap mendorong lima buah bambu diatas gerobak dan jalan beraspal. Usia tua rambut panjang beruban dan disanggul juga berketombe karena tak mampu beli shampo dibawah terik matahari, juga tak dipikirkannya. Ia perempuan yang tidak peduli kelamin mencari sesuap nasi, dari juragan bambu. Saban hari meminta seember air di seberang gubuk reog miliknya. "Ibu Ludya-Ludya", kami menyapanya. Karena uang lima ribu perak jerih payahnya jatuh dari kantong celana pendek yang usang dengan tetes keringat seharian. Agak pikun mencari uang itu, memikirkan seorang cucu butuh susu dan seorang anak butuh uang, biaya baju olahraga di sekolah STM. Menghidupi seorang cucu dan dua orang anak dengan sandal yang terkikis setiap hari oleh jalanan beraspal dan terik matahari. Adakah mereka memikirkanmu.. Hari dimana kami menyebutmu.. ...

Karya Bagus Juga Berangkat dari Rasa Cemburu

Saya tidak biasa mengumpat. Tetapi terbiasa menyindir dengan bahasa yang satire. Itupun dengan satire yang halus-halus sangat. Meminjam istilah Malaysie yang halus itu. Cuma barangkali saya terbiasa menyinggung dengan bahasa yang menurutku halus sangat itu, tidak mudah dimengerti orang. Bahasa satire saya itu juga pas-pasan untuk ukuran puisi atau sajak, juga cerpen. Sesekali satire itu juga biasa saya salurkan melalui artikel yang menyindir dengan berbagai perumpamaan. Entah dimengerti atau tidak, namun seperti itulah mengkritik yang baik melalui tulisan. Jika dibandingkan dengan kritik terbuka, melalui puisi atau sajak yang lurus-lurus saja. Sayakira itu bukan lagi sebuah satire, namun betulbetul mengumpat. Saya mengambil contoh puisi terbuka dari Asdar Muis RMS, ataukah seseorang yang mengatasnamakan penyair semisal Andhika Mappasomba adalah dua ‘penyair’ yang menurut saya bukan penyair. Bahasa-bahasa puisi seperti itu masih bisa dilakukan oleh seorang anak SMP sekalipun. Karena itu...

Menulis seperti halnya berpacaran

Beban menulis, adalah sesuatu yang memuncah di kepala kadangkala membuat saya tidak bisa tidur dengan tenang. Itulah susahnya membuat janji dengan diri sendiri. Hati-hati dengan hal-hal yang seperti itu. Semisal anda berencana membuat tulisan dengan deadline sebentar malam yang betulbetul harus sebentar malam. Biasanya kita sangat tidak mudah menepatinya. Untuk memenuhi janji-janji seperti itu, kalau saya hanya menyiasatinya dengan menulis sebaris dua baris. Meski terkadang tidak sama sekali. Padahal, begitu banyak ide dikepala yang beterbangan seperti kunangkunang ilusi. Tapi tetap saja saya tidak bisa menangkap kunang-kunang itu. Menulis dengan hati tentu saja berbeda menulis dengan deadline. Tetapi akan sungguh memuaskan jika menulis dengan hati dan deadline yang tepat waktu. Seorang jurnalis berbeda dengan seorang penyair. Tetapi bukan tidak mungkin jika seorang penyair juga memenuhi deadline layaknya seorang jurnalis. Itu sungguh luarbiasa. Saya paling sering menyiasati janji menu...

kisah pengamen memaksa

ada kucing mengembek, itu kambing namanya ada kambing mengeong itu kucing namanya tapi jika ada orang mengeong dan mengembek namanya kucing dan kambing bego' seperti itulah pengamen losari

pengamat dan contreng

Saya menyukai teori. Karena tertantang mengapa bisa mereka yang oleh kita selalu mematok darisitu. Tapi saya tidak sependapat teori selalu ilmiah tanpa pernah melihat yang ilmiah itu, seperti apa. Seperti di bangku kuliah saja. Petani punya teori sendiri, nelayan juga punya teori sendiri. Apalagi tukang kayu punya teori sendiri yang tidak selalu serupa dengan si ahli yang memiliki teori yang Wahhh. Tetapi, saya juga ingin sekolah. Sekolah yang tidak hanya memberi teori. Beberapa orang, bahkan anda barangkali sependapat dengan saya menyamakan si ahli dengan tukang kayu adalah dua hal yang berbeda. Itulah sebabnya saya sedikit membenci pengamat. Sepenuhnya mereka selalu melandasi berdasarkan si ini dan si anu. Lihatlah pengamat yang ada di koran-koran kita. Mereka hanya menggambarkan, bukan melihat langsung atau paling tidak menelitilah keadaan sebenarnya. Pengamat seperti halnya Mencontreng-sebuah istilah pemilu yang universal membingungkan, adalah dua hal serupa yang berpotensi membodo...

..siklus..

tunggulah nanti, akan kembali lagi hujan juga tak selalu datang begitu juga gerimis dan pelangi tak selalu kautemukan mereka kembali ke peraduannya seperti pasangan kutilang yang mencari peraduan baru kapan-kapan kita bertemu seperti siklus.. yang datang dan pergi tentu saja ada yang berbeda disitu

..belajar..

diatas awan masih ada yang lebih tinggi.. camkan itu. betul juga kata mereka. Semakin banyak kita mengetahui tentang sesuatu semakin merunduklah kita. Saya masih mengingat cerita tentag ilmu padi, dari seorang guru filosofis tentang pelajaran yag satu itu. melalui otodidak yang luar biasa, ditambah lagi latar belakang pendidikan alam yang didapatnya.. Barangkali dia itu seperti pemikir Fritjof Chopra, berperilaku layaknya pelayan yang rajin bertanya, atau kadangkadang ditengah malam bisa berubah menjadi seorang sufi... susahnya menjadi seseorang yang seperti itu... belajar belajar belajarlah.. hehe, tetap semangat.