Jangan Pelihara Maestro Kami Pakcik....

saya menyadurnya dari feature kompas tanggal 14 November 07 berjudul : 'Jangan Ambil Angklung Kami Pakcik'

Mang Udjo : 'Bangsa yang dihargai, adalah bangsa yang memelihara kebudayaannya, bukan bangsa yang menciptakan kebudayaan lalu melupakan....

Sebuah diplomasi kebudayaan telah ditunjukkan salah seorang maestro kita, Mang Udjo melaui muridnya Ika Widyaningsih. Ika yang diundang dalam sebuah pertunjukan kesenian Malaysia-Indonesia di Kuala Lumpur, tampil mengesankan dan memukau penonton yang dihadiri kedua pejabat antara RI dan Malaysia. Lewat pergelaran angklung interaktif pada salah satu sesi "Malam Budaya Indonesia", dari atas panggung, Ika dengan fasih menuntun mereka bagaimana cara memegang dan membunyikan angklung yang benar. Dato’ Sri Rais Yatim (menteri kebudaayaan Malaysia) bersama istri juga mengikuti peragaan Ika, yang kemudian disusul instruksi tentang bagaimana posisi dan cara menggerakkan angklung agar menghasilkan nada-nada dasar musik yang diinginkan.

Awalnya, beberapa lagu dimainkan dengan tertatih-tatih. Sekitar 200 undangan semula kikuk memegang dan menggoyang-goyangkan alat musik bambu tersebut. Beberapa di antaranya bahkan tampak frustrasi, lalu meletakkan angklungnya di meja, sebelum akhirnya ikut kembali "bergabung" sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sebagian besar undangan terlihat hanyut mengikuti instruksi Ika. Mereka seperti menikmati permainan baru dari alat musik bambu yang sederhana, tetapi sungguh menakjubkan karena ternyata mampu menghasilkan nada-nada musik yang inspiratif dan menawan.

"We are the best. Semoga dengan angklung persahabatan Indonesia-Malaysia tetap jaya," kata Ika memuji, setelah lagu Falling in Love dalam iringan musik angklung yang dimainkan secara interaktif itu mengumandang, dan diakhiri aplaus meriah.

Tindakan Malaysia dalam beberapa waktu terakhir terhadap bangsa Indonesia sempat menyulut sentimen negatif di Tanah Air. Hal itu terjadi lantaran sikap dan/atau langkah yang mereka tempuh dirasakan telah menyinggung harga diri dan martabat bangsa Indonesia.

Khusus di bidang kebudayaan, kegalauan itu dipicu klaim sepihak Malaysia atas produk-produk budaya Indonesia. Dalam kasus pematenan batik oleh Malaysia, misalnya, meski hanya menyangkut motifnya, citra yang kemudian mendunia akhirnya bisa memunculkan anggapan bahwa batik secara keseluruhan adalah milik Malaysia.

Begitu pun klaim Malaysia terhadap angklung, yang mereka pasarkan lewat dunia perpelancongannya sebagai music bamboo malay. Bukan tidak mungkin klaim ini akan meminggirkan posisi angklung di pergaulan antarbangsa lantaran Indonesia bisa dianggap sebagai pengekor.

"Padahal, dari sejarah dan penelitian yang kami lakukan, angklung benar-benar musik tradisi asli Indonesia," kata Satria Yanuar Akbar, Direktur Operasi Saung Angklung Mang Udjo.

"Ika sebagai murid senior Mang Udjo beberapa kali ditawari pindah ke Malaysia. Namun, hingga sejauh ini kami hanya memberikan jawaban diplomatis: belum ada waktu. Kami sebetulnya juga ingin menyebarkan angklung ke seluruh dunia. Tapi, pada saat bersamaan apa tindakan pemerintah untuk memagari agar angklung tetap jadi milik kita?" kata Satria. Semoga Malaysia tidak ikut memelihara Mang Udjo. Cukup mereka memeliharanya dan Indonesia yang pencipta angklung perlahan dilupakan (Kompas).

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar