Menerka Calon Lewat Lembaga Survei-surveian
Pilkada Gubernur 2007 sebentar lagi dimulai. Anekdot yang dilontarkan Yudha Yunus aktivis LSM Makassar berbunyi Aku Ada Karna Pilkada, mungkin akan sedikit sama dengan bunyi Survei Ada Calon Pilkada pun ada. Sebuah filosofi yang pertama kali dilontarkan oleh filosof eksistensialis Rene Descartes (Cogito Ergosum). Maraknya lembaga survei menerka calon pilkada menjelang pelaksanaan pemilihan Gubernur Sulsel beberapa waktu lalu cukup menggelitik.
Pasalnya dua lembaga yang melakukan survei penelitian memiliki hasil yang berbeda. Memang hanya masyarakat yang berhak memvonis memilih mana prediksi yang tepat. Namun jangan sampai lembaga, entah itu lembaga pemberdayaan, lembaga pendidikan, lebihlebih lagi lembaga pemerintah ikutikutan banting setir menjadi lembaga surveisurveian hanya karena momen pelaksanaan pilkada sebentar lagi. Paling tidak euforia itu mulai terasa dengan anggaran dana tidak kurang dari 100 milyar sebagaimana yang diusulkan KPUD Provinsi
Kalau ada prakiraan untuk esok hari, jangan mudah untuk mempercayainya. Namanya juga prakiraan (mengirangira lebih awal). Bagaimana kalau ada surveisurveian mengenai calon gubernur ini dan calon gubernur itu, anda boleh percaya boleh tidak. Menilik istilah survei, tentu sangat berkaitan erat dengan penelitian, olah data hingga mengambil kesimpulan. Olah data memiliki dua macam yakni kualitatif maupun kuantitatif. Namun keduanya selalu bermain pada angka statistik.
Mungkin masih segar diingatan kita, ketika pidato tahunan SBY yang keliru menyebut data mengenai jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia. Data yang diperoleh melalui kesektariatan kepresidenan dari Badan Pusat Statistik tersebut menuai protes dari para pengamat kemiskinan ini dan itu.
Bohong dan statistik
Benjamin Disraeli (1804-1881) menyatakan ada tiga macam kebohongan : ngibul, bohong dan statistik. Kendati peringatan ini telah berusia seabad lamanya. Namun statistik yang mengecoh masih saja kita temui hingga saat ini. Saat ini statistik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari persoalan yang rumit dalam wujud angkaangka menjadikannya sebagai metode yang berdaya guna dalam menentukan pilihan maupun dalam mengambil keputusan. Dari urusan rumah tangga hingga urusan belanja negara yang melibatkan anggota dewan, tak jarang harus berurusan dengan angkaangka. Namun disisi lain, penampilan statististik ataupun survei terkadang membuat fakta tampak berbeda. Apalagi jika disusun dengan cara yang keliru. Lebihlebih lagi membuat survei statistik lewat momen pilkada, yang hasilnya terkesan ‘dadakan’.
Statistik atau survei dalam bentuk angka biasanya menunjukkan teror. Tentu saja ini tergantung sejauh mana trauma anda dengan angkaangka garagara pengalaman msa kecil kita dengan matematika. Apapun penyebabnya trauma tersebut mendatangkan masalah bagi mereka yang ingin iklannya dibaca, mereka yng ingin bukunya laris tak jarang menunjukkan dengan bentuk statistik. Apalagi momen pilkada lewat survey, tentu terkait dengan siapa calon yang layak untuk diminati oleh masyarakat. Di Makassar sendiri tercatat ada dua lembaga yang santer melakukan survei Jelang Pilkada Gubernur 2007. Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Pendidikan Gama.
Namun dari hasil survei yang dilakukan keduanya menunjukkan hasil yang berbeda. Tak ketinggalan organisasi kepemudaan di daerah beberapa diantaranya juga melakukan hal yang serupa. Tentunya beberapa diantara hasil survei tersebut ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang salah justru lembagalembaga kemasyarakatan nantinya beralih setir menjadi lembaga survei, Hanya karena momen pilkada yang kian dekat.
Tak dapat dipungkiri pertarungan beberapa calon menjelang momen pilkada sepertinya telah menjadi rahasia umum. Untuk kalangan pegawai negeri sipil hal ini bukan rahasia lagi. Tetapi bagi masyarakat umum jika saja pejabat kita tidak fokus dengan urusan rakyatnya, lambat laun masyarakat justru menilai negatif kinerja pemerintahan tingkat Provinsi. Lebih parah lagi jika diantara pejabat Provinsi sudah terjadi kaplingkapling pospos untuk memuluskan langkah mereka menuju pencalonan Gubernur pada Pilkada 2007.
Sementara untuk memuluskan jalan beberapa calon Pilkada Gubernur. Kendaraan partai sudah menjadi kewajiban utama untuk memenuhi salah satu persyaratan menjadi calon. Bagaimanakah partai melihat survei baik yang dilakukan oleh lembaga surveisurveian ataupun lembaga lain yang sekedar menyatakan mampu untuk melakukan survei menjadi pertimbangan suatu partai untuk mengusung calonnya. Hal ini jelas tergantung dari kapabilitas lembaga survei atau pun lembaga lain surveisurveian untuk mendapatkan data yang akurat mengenai calon mana yang diminati. Asal jangan asal
Tergantung Momen
Kadangkadang survei memberikan hasil berupa persentase. Sedangkan angka absolut tidak ada, hal ini tentu bisa menipu. Suatu kali ketika universitas John Hopkins Amerika, melakukan survei terhadap mahasiswa baru dimana 33,3 persen dari perempuan di universitas John Hopkins menikah dengan staf pengajarnya. 33,3 persen adalah angka yang mengejutkan dan mengesankan. Namun ketika dijelaskan dengan cara dan menggunakan angka absolut memberi gambaran yakni tiga dari wanita yang mendaftar yang di dominasi lakilaki. seorang wanita diantaranya menikah dengan dosen. Penjelasan dengan cara absolut sama halnya dengan persentase 33,3 persen tadi (Darrel Huff, Berbohong dengan statistik, 1991).
Gambaran diatas hanyalah memberikan pemisalan jika saja survei yang dilakukan lembaga yang mengatasnamakan lembaga survei melakukan penelitian dengan menggunakan sampel yang bias. Saya bukan ahli statistik tetapi kadangkadang memang statistik bisa merubah fakta yang benarbenar berbeda. Misalnya saja lembaga survei melakukan survei di daerah yang mayoritas mendukung si A jelas saja, hal itu tidak menjadi representasi jika pendataan tidak dilakukan secara menyeluruh untuk wilayah kabupaten. Justru sebaliknya menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu yang merugikan.
Perubahan fakta yang benarbenar berbeda berdasarkan hitunghitungan angka memang tak terlepas dari sebuah momen. Namun apakah momen itu mendesak atau tidak. Tergantung orang yang melakukan surveilah yang menilainya. Jangan sampai survei dilakukan hanya karena berdasarkan motif ingin mendapat kekuasaan. Dengan menggunakan istilah ‘orde baru’ ABS (asal bapak senang). Apalagi sebuah momen yang menentukan bagi rakyat sulawesi selatan menjelang pelaksanaan Pilkada 2007. Jangan sampai momen pilkada dimanfaatkan untuk ‘mencari muka’. Momen pilkada boleh panas tetapi harus mengikuti koridor dan aturan main yang tertulis maupun yang sesuai etika, jangan sampai masyarakat menilai negatif oknumoknum yang memiliki ketokohan di lingkungan kemasyarakatan menjadi . Yang parah lagi adalah lembagalembaga swadaya masyarakat atau lembaga non pemerintah hendaknya tak membingungkan masyarakat saat menjelang pilkada dengan ikutikutan mengeluarkan pernyataan mendukung ini dan mendukung calon itu. Biar bagaimanapun masyarakat yang berhak menilai calon gubernur mereka.
Kalau saja hal itu terjadi maka anekdot Survei Ada Calon Pun Ada, sama halnya berbunyi ada uang ada barang. Tergantung momennya, saja selama bisa dijadikan komoditas. Astagfirullah. Wallahu alamAlbishawab.
Pasalnya dua lembaga yang melakukan survei penelitian memiliki hasil yang berbeda. Memang hanya masyarakat yang berhak memvonis memilih mana prediksi yang tepat. Namun jangan sampai lembaga, entah itu lembaga pemberdayaan, lembaga pendidikan, lebihlebih lagi lembaga pemerintah ikutikutan banting setir menjadi lembaga surveisurveian hanya karena momen pelaksanaan pilkada sebentar lagi. Paling tidak euforia itu mulai terasa dengan anggaran dana tidak kurang dari 100 milyar sebagaimana yang diusulkan KPUD Provinsi
Kalau ada prakiraan untuk esok hari, jangan mudah untuk mempercayainya. Namanya juga prakiraan (mengirangira lebih awal). Bagaimana kalau ada surveisurveian mengenai calon gubernur ini dan calon gubernur itu, anda boleh percaya boleh tidak. Menilik istilah survei, tentu sangat berkaitan erat dengan penelitian, olah data hingga mengambil kesimpulan. Olah data memiliki dua macam yakni kualitatif maupun kuantitatif. Namun keduanya selalu bermain pada angka statistik.
Mungkin masih segar diingatan kita, ketika pidato tahunan SBY yang keliru menyebut data mengenai jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia. Data yang diperoleh melalui kesektariatan kepresidenan dari Badan Pusat Statistik tersebut menuai protes dari para pengamat kemiskinan ini dan itu.
Bohong dan statistik
Benjamin Disraeli (1804-1881) menyatakan ada tiga macam kebohongan : ngibul, bohong dan statistik. Kendati peringatan ini telah berusia seabad lamanya. Namun statistik yang mengecoh masih saja kita temui hingga saat ini. Saat ini statistik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari persoalan yang rumit dalam wujud angkaangka menjadikannya sebagai metode yang berdaya guna dalam menentukan pilihan maupun dalam mengambil keputusan. Dari urusan rumah tangga hingga urusan belanja negara yang melibatkan anggota dewan, tak jarang harus berurusan dengan angkaangka. Namun disisi lain, penampilan statististik ataupun survei terkadang membuat fakta tampak berbeda. Apalagi jika disusun dengan cara yang keliru. Lebihlebih lagi membuat survei statistik lewat momen pilkada, yang hasilnya terkesan ‘dadakan’.
Statistik atau survei dalam bentuk angka biasanya menunjukkan teror. Tentu saja ini tergantung sejauh mana trauma anda dengan angkaangka garagara pengalaman msa kecil kita dengan matematika. Apapun penyebabnya trauma tersebut mendatangkan masalah bagi mereka yang ingin iklannya dibaca, mereka yng ingin bukunya laris tak jarang menunjukkan dengan bentuk statistik. Apalagi momen pilkada lewat survey, tentu terkait dengan siapa calon yang layak untuk diminati oleh masyarakat. Di Makassar sendiri tercatat ada dua lembaga yang santer melakukan survei Jelang Pilkada Gubernur 2007. Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Pendidikan Gama.
Namun dari hasil survei yang dilakukan keduanya menunjukkan hasil yang berbeda. Tak ketinggalan organisasi kepemudaan di daerah beberapa diantaranya juga melakukan hal yang serupa. Tentunya beberapa diantara hasil survei tersebut ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang salah justru lembagalembaga kemasyarakatan nantinya beralih setir menjadi lembaga survei, Hanya karena momen pilkada yang kian dekat.
Tak dapat dipungkiri pertarungan beberapa calon menjelang momen pilkada sepertinya telah menjadi rahasia umum. Untuk kalangan pegawai negeri sipil hal ini bukan rahasia lagi. Tetapi bagi masyarakat umum jika saja pejabat kita tidak fokus dengan urusan rakyatnya, lambat laun masyarakat justru menilai negatif kinerja pemerintahan tingkat Provinsi. Lebih parah lagi jika diantara pejabat Provinsi sudah terjadi kaplingkapling pospos untuk memuluskan langkah mereka menuju pencalonan Gubernur pada Pilkada 2007.
Sementara untuk memuluskan jalan beberapa calon Pilkada Gubernur. Kendaraan partai sudah menjadi kewajiban utama untuk memenuhi salah satu persyaratan menjadi calon. Bagaimanakah partai melihat survei baik yang dilakukan oleh lembaga surveisurveian ataupun lembaga lain yang sekedar menyatakan mampu untuk melakukan survei menjadi pertimbangan suatu partai untuk mengusung calonnya. Hal ini jelas tergantung dari kapabilitas lembaga survei atau pun lembaga lain surveisurveian untuk mendapatkan data yang akurat mengenai calon mana yang diminati. Asal jangan asal
Tergantung Momen
Kadangkadang survei memberikan hasil berupa persentase. Sedangkan angka absolut tidak ada, hal ini tentu bisa menipu. Suatu kali ketika universitas John Hopkins Amerika, melakukan survei terhadap mahasiswa baru dimana 33,3 persen dari perempuan di universitas John Hopkins menikah dengan staf pengajarnya. 33,3 persen adalah angka yang mengejutkan dan mengesankan. Namun ketika dijelaskan dengan cara dan menggunakan angka absolut memberi gambaran yakni tiga dari wanita yang mendaftar yang di dominasi lakilaki. seorang wanita diantaranya menikah dengan dosen. Penjelasan dengan cara absolut sama halnya dengan persentase 33,3 persen tadi (Darrel Huff, Berbohong dengan statistik, 1991).
Gambaran diatas hanyalah memberikan pemisalan jika saja survei yang dilakukan lembaga yang mengatasnamakan lembaga survei melakukan penelitian dengan menggunakan sampel yang bias. Saya bukan ahli statistik tetapi kadangkadang memang statistik bisa merubah fakta yang benarbenar berbeda. Misalnya saja lembaga survei melakukan survei di daerah yang mayoritas mendukung si A jelas saja, hal itu tidak menjadi representasi jika pendataan tidak dilakukan secara menyeluruh untuk wilayah kabupaten. Justru sebaliknya menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu yang merugikan.
Perubahan fakta yang benarbenar berbeda berdasarkan hitunghitungan angka memang tak terlepas dari sebuah momen. Namun apakah momen itu mendesak atau tidak. Tergantung orang yang melakukan surveilah yang menilainya. Jangan sampai survei dilakukan hanya karena berdasarkan motif ingin mendapat kekuasaan. Dengan menggunakan istilah ‘orde baru’ ABS (asal bapak senang). Apalagi sebuah momen yang menentukan bagi rakyat sulawesi selatan menjelang pelaksanaan Pilkada 2007. Jangan sampai momen pilkada dimanfaatkan untuk ‘mencari muka’. Momen pilkada boleh panas tetapi harus mengikuti koridor dan aturan main yang tertulis maupun yang sesuai etika, jangan sampai masyarakat menilai negatif oknumoknum yang memiliki ketokohan di lingkungan kemasyarakatan menjadi . Yang parah lagi adalah lembagalembaga swadaya masyarakat atau lembaga non pemerintah hendaknya tak membingungkan masyarakat saat menjelang pilkada dengan ikutikutan mengeluarkan pernyataan mendukung ini dan mendukung calon itu. Biar bagaimanapun masyarakat yang berhak menilai calon gubernur mereka.
Kalau saja hal itu terjadi maka anekdot Survei Ada Calon Pun Ada, sama halnya berbunyi ada uang ada barang. Tergantung momennya, saja selama bisa dijadikan komoditas. Astagfirullah. Wallahu alamAlbishawab.
thanks, artikelnya bagus.
ReplyDelete