Globalisasi Tubuh dan Majalah Playboy


Akhirnya polemik mengenai pornografi pornoaksi sedikit terjawab sudah. Paling tidak hal itu terlihat ketika Majalah Playboy Edisi perdana diterbitkan meski dalam jumlah yang terbatas. Edisi perdana yang terbit hari jumat (7 april 2006) menampilkan pose-pose yang tidak terlalu vulgar, (kalau mau dibandingkan dengan majalah lain yang) banyak menonjolkan tubuh mengarah kepada Pornografi. Polemik mengenai Pornografi boleh berlanjut namun Globalisasi tubuh juga tetap jalan seiring dengan perkembangan dunia mengikuti selera pasar dan konsumen. Dimanakah kekuatan kebudayaan yang oleh beberapa pakar kita menuntut sesuatunya harus sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.
Strategi Menghukum yang Mempertontonkan tubuh
Michel Foucault dalam karyanya Discipline and Punish mencoba menganalisis perubahan perubahan dan pergeseran strategi menghukum yang tidak lagi menyentuh ‘tubuh’. Hukuman-hukuman yang menyentuh tubuh ditemukan pada awal abad IX penghukuman disertai dengan penyiksaan yang kejam merupakan tontonan yang amat disukai publik, hal itu terlihat dari banyaknya orang yang menyaksikan praktek hukuman yang kejam (dilaporkan ada kurang lebih 100.000 penonton yang menyaksikan pawai kereta hukuman, Michel Foucault, Surveiller et Punir, 1975) pada tanggal 2 maret 1757 Damiens yang dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap raja dijatuhi hukuman mati. Ia dibawa ke depan pintu utama gereja Paris untuk meminta maaf, di tempat itu tubuh Damiens akan dicincang hingga berkeping-keping, ia disuruh memegangi pisau yang dipakainya untuk membunuh raja dengan tangan kanannya, setelahnya tangan tersebut akan dicincang dan dituangi dengan minyak panas dan dibakar dengan belerang, setelah siksaan tersebut kedua tangan dan kaki Damiens diikat pada keempat kuda. Kuda-kuda tersebut akan dihalau serentak untuk lari kearah empat penjuru setelah tubuhnya hancur berkeping. Bagian kepingan itu dikumpulkan dan dibakar supaya debunya diterbangkan angin. Apa yang digambarkan Foucault mengenai eksplorasi tubuh pada akhirnya memunculkan satu sistem baru ketika tubuh tak lagi disiksa sebagai bentuk penghukuman oleh karenanya hadirlah penjara sebagai alternatif sebuah bentuk penghukuman.
Hubungan antara tubuh sebagai penghukuman dikaitkan dengan pornografi memang sedikit jauh berbeda namun juga sedikit memiliki kesamaan, pornografi juga merupakan eksplorasi tubuh yang dipertontonkan ke khalayak atau Tubuh sebagai komersialisasi Pasar. Hal yang sedikit membedakannya tubuh dalam pornografi dipertontonkan dan bukan merupakan penghukuman. Penghukuman akan terjadi kalau pornografi atau tubuh yang dipertontonkan melanggar melewati batas-batas etika. Dan mengukur etika mungkin itulah yang dikatakan oleh beberapa pakar kita dimana sesuatu yang dipertontonkan harus sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Etika dan Tingkah Laku seksual
Fakta menunjukkan naluri seksual berakar dalam kimiawi tubuh kita. Naluri ini adalah akar dari seluruh bentuk tingkah laku seksual, juga cara khusus memuaskannya bukan dari naluri itu sendiri yang ditentukan oleh struktur karakter dari relevansi manusia dengan lingkungannya. Sedikit mengambil pernyataan dari Erich From dalam Cinta Seksualitas Matriarki dan Gender. Selama berabad-abad seksualitas atau segala hal yang berubungan dengannya termasuk pornografi merupakan hal yang telah distigmakan sebagai sesuatu yang buruk secara moralitas dan cenderung diabaikan. Bila disangsikan dengan sakramen perkawinan. Setiap aktivitas seksual yang bukan tujuan penciptaan, terutama semua penyimpangan seksual--biasanya lahir dari lingkungan dan kebiasaan secara moralitas dianggap buruk dan jahat. Asumsi ini menurut Fromm dilatarbelakangi pandangan bahwa tubuh manusia adalah sumber keburukan dan hanya dengan menekan tuntutantuntutan naluriah kebaikan dapat dicapai. Meski pemberontakan yang melawan konsep ini juga ditentang oleh Freud yang menekankan kenyataan bahwa penindasan seks menuntun kepada Neurosis (kelainan jiwa) dan Freud sendiri menyalahkan kebudayaannya dianggap mengorbankan kesehatan mental demi tuntutan moralitas puritan.
Adanya stigmatisasi yang mempersempit pengetahuan pada wilayah seks menutupi etika yang sebenarnya lebih berhubungan erat dalam kehidupan manusia. Moralitas diidentikkan pada permasalahan seksual dengan mematuhi wilayah tabutabu pornografi yang dibentuk oleh kebudayaan. Pertanyaannya kemudian apakah etika dan tingkah laku harus selalu dihubung-hubungkan dengan masalah seksualitas pornografi dan pornoaksi, bagaimana dengan sifat-sifat buruk lainnya yang erat dengan etika dan tingkah laku seperti halnya ketidakpedulian terhadap sesama, iri hati ataukah sifat hasrat terhadap kekuasaan. Yang lebih parah lagi kalau di Indonesia Korupsi kolusi dan nepotisme yang membudaya apakah hal tersebut kurang signifikan dibandingkan dengan rasa hormat terhadap wilayah-wilayah tabu pornografi mengenai etika yang dikaburkan hanya karena persoalan kemolekan tubuh ‘Daging” yang melekat pada manusia sebagai sebuah sumber kejahatan.
Meski dalam sejarah manusia dengan mudah kita menemukan ancaman nyata bagi kedamaian dan kebahagiaan individu dan masyarakat. Tetapi hal itu secara keseluruhan bukanlah bersumber pada nafsunafsu yang menimbulkan kebirahian, namun justru berasal dari nafsu hasrat mental irrasional seperti benci, iri dan ambisi. Secara terbuka Erich Fromm ingin menggambarkan bahwa masalah etika tak selalu bersumber pada persoalan-persoalan yang tabu seperti seks dan pornografi tetapi sebaliknya juga berssumber dari perilaku etika lainnya yakni dikenal dengan Mental Irrasional.
Globalisasi Tubuh
Seiring dengan perkembangan jaman dimana segala sesuatunya berdasarkan pasar tak ayal tubuh pun terseret sebagai sebuah objek dalam globalisasi, tontonan tubuh semakin memikat sebagaimana yang terekspose dalam majalah Playboy. Namun kembali lagi ke pertanyaan dapatkah majalah Playboy di salahkan dengan membuat regulasi mengenai pornografi dan pornoaksi sementara tuntutan globalisasi berdasarkan pada pemenuhan selera konsumen. Selera konsumen jelas akan mencari dan memburu segala sesuatu yang tersembunyi, kurang terekspos dan cenderung dibesar-besarkan.
Strategi menghukum yang mempertontonkan tubuh telah melahirkan fase baru dengan lahirnya sistem Penjara pada masa abad IX di Prancis dan teradopsi di berbagai belahan dunia. Bagaimana dengan strategi yang tidak lagi mempertontonkan tubuh system apakah yang dilahirkan di awal abad global ini. Beberapa pakar menganjurkan pada penguatan kebudayaan yang kuat. Dimana globalisasi harus melalui penyaringan kebudayaan. Mungkinkah globalisasi tubuh sebagaimana yang terekspose di Majalah Playboy harus sesuai dengan budaya dan masyarakat Indonesia, sementara masalah etika dan tingkah laku juga belum sepenuhnya tuntas bagi masyarakat Indonesia.
Majalah Playboy telah terbit di pasaran Indonesia sebagai edisi perdananya model yang terekspose cenderung tidak terlalu Vulgar dibanding Majalah ataupun tabloid lain yang sejenisnya.
Mudah-mudahan pikiran kita serta para elite politik tidak terlalu membesarbesarkan masalah ini, masih banyak masalah yang lebih krusial yang perlu diperhatikan jangan sampai Isu ini menjadi “jebakan global” terhadap kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Wallahualam

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar