Mahasiswa, Dosen, dan Demokrasi

Oleh
Ichsan Amin
Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unhas

Mahasiswa adalah agent of control, paling tidak seperti itulah mahasiswa yang ideal, mahasiswa yang di dalamnya lahir nilai-nilai kritis. Dengan sikap kritisnya mampu merefleksikan perjuangan idealnya membela masyarakat yang lemah.
Para pemikir pun selalu bertumpu pada harapan-harapan yang ideal. Pemikiran Plato pun merupakan pemikiran yang ideal. Jangankan Plato, negarawan pun selalu mengharapkan yang ideal dari kemakmuran sebuah bangsa. Namun tak jarang konsep ideal selalu jauh dari harapan.
Plato hanya bermain pada tataran yang sempurna, sebuah pemikiran yang utopis sebagaimana ia merumuskan demokrasi dalam pemikiran republiknya. Ia menafikan sebuah kondisi realitas sosial yang ada di masyarakat. Namun bukan berarti pemikirannya dianggap basi.

Pemikiran Plato bisa saja menjadi fondasi adanya sikap kritis dari sebagian mahasiswa. Melakukan aksi demonstrasi di jalan adalah sebuah demokrasi ala sebagian mahasiswa yang juga menginginkan tataran yang ideal dari pemerintah untuk masyarakatnya.
Pertanyaan yang muncul siapakah yang melahirkan nilai-nilai kritis dari sebagian mahasiswa tersebut? Dosen, dekan ataukah rektor?
Jawabannya mungkin tak akan kita temukan pada ketiganya, justru jawabannya dapat dipetik dari pemikir filosof seperti Plato, Aristoteles, Sartre Marx, dan pemikir-pemikir lain yang memiliki konsep ideal yang dipandang mampu menjadi konsep relistis untuk memperjuangkan rakyat untuk ukuran mahasiswa ideal.

Blunder
Sedikit menangganggapi opini Adi Suryadi Culla di Tribun, beberapa waktu lalu, menjadi blunder terutama dalam mendidik mahasiswa. Tanpa menunjukkan keteladanan politik pun para dosen yang ada di kampus Unhas sebagian sudah terkena blunder.
Mendidik hendaknya tak selalu harus dilihat pada prosesi-prosesi pemilihan dekan maupun rektor. Bahkan sebuah acara promosi doktor pun yang mengundang terbuka mahasiswa tak selalu mendidik. Justru sebaliknya, yang ada pembodohan.
Blunder sederhana yang diperlihatkan sebagian dosen adalah jadwal mengajar yang tidak tetap, sebagian dosen jarang masuk mengajar atau pun tak sesuai jadwal.
Sungguh ironi di kampus termegah Indonesia timur masih saja ada kasus seperti itu. Apakah ini juga masuk dalam pelajaran demokrasi yang ada di Unhas?
Bisa jadi, pelarian mahasiswa ketika dosen tak masuk mengajar, mereka (sebagian mahasiswa) justru melakukan diskusi-diskusi kecil membedah pemikiran-pemikiran filososf maupun para pemikir lainnya.
Sehingga lewat diskusi tersebut secara perlahan melahirkan sikap kritis dalam diri sebagian mahasiswa. Para dosen, dekan, maupun rektor tak perlu malu-malu melihat kekisruhan yang terjadi dalam pemilihan dekan dan juga beberapa kasus yang ada di Unhas.
Hanya persoalan waktu saja yang akan menjawabnya. Oleh karenanya sebagian mahasiswa berperan dalam hal tersebut bagaimana mencari solusi lewat sebuah diskusi menggunakan pendekatan teori yang dipahaminya dijembatani sebuah organisasi yang mampu mengakomodir aspirasi mahasiswa.
Sehingga sebagian mahasiswa pun seharusnya tak hanya sebagai agent of control dalam masyarakat tetapi juga berperan sebagai kontrol dalam lingkup kampus akademika Unhas.
Dalam rangkaian demokrasi terdapat slogan yang memperlihatkan fanatisme mengusung kepentingan tertentu, taman akademika Unhas pun mempraktekkan sebuah "demokrasi".
Seperti halnya prosesi tahunan penyambutan mahasiswa baru di Unhas, bahkan tak hanya di Unhas, kampus swasta pun mempraktekkan "demokrasi" dengan memasang baliho, umbul- umbul yang memperlihatkan arogansi pada setiap fakultas dan membangun fanatisme berlebihan pada setiap penyambutan mahasiswa baru.
Pertanyaan yang muncul, mereka tak berebut kursi di senat dan mereka tak berebut kursi untuk menjadi presiden, mereka hanya berebut perhatian dan menunjukkan arogansi pada setiap fakultas yang berbeda.
Namun setiap demokrasi juga tak selalu ideal apalagi sebuah demokrasi yang ditunjukkan dalam pemilihan dekan atau mungkin demokrasi ala sebagian mahasiswa masih lebih baik dibandingkan dengan demokrasi yang dipraktekkan para dosen.
Demokrasi selalu menjadi sebuah pelajaran, di Amerika Serikat pun demokrasi tak dilaksanakan dengan sepenuh hati, akan selalu ada kepentingan yang menyusupinya.
Apalagi sebuah demokrasi yang ada di Unhas, sungguh sebuah demokrasi yang baru, demokrasi ala dosen dan mahasiswa, di dalamnya para cendekia, agent of control dalam masyarakat, saling berusaha memperoleh posisi sebagai dekan maupun sebagai mahasiswa "arogan" di taman akademika Unhas.
Sebuah oligarki pemerintahan Plato yang ideal namun tak ideal bagi dekan maupun dosen dan mahasiswa yang bersangkutan.
Sebagai unsur terbaik dalam masyarakat, dosen, dekan, maupun rektor selayaknya mampu menunjukkan keteladan-keteladanan.
Tak hanya keteladanan politik tentunya, tetapi juga keteladanan mengajar dan keteladanan lain yang patut diteladani oleh mahasiswa agar tidak menjadi mahasiswa yang memiliki fanatisme berlebihan yang dapat merugikan sivitas akademikanya.

Tidak Basi
Sedikit pemikiran Plato telah diterapkan di Unhas, oleh cendekia (dosen) kita yang memegang tampuk pimpinan di fakultas maupun universitas.
Permasalahan yang ada para cendekia kita tak mudah untuk tidak merasa sakit hati apabila kalah dalam sebuah prosesi pemilihan dekan maupun rektor atau mahasiswa (intelektual) unjuk kebolehan baliho umbul-umbul fakultas.
Pemikiran Plato tidak basi bagi sebagian mahasiswa, selaiknya mereka bermurah hati jika kalah dan tak berbusung dada jika menang ataupun terlecehkan. Bukan malah mencari-cari kesalahan maupun menebar fitnah.
Kalau begitu, demokrasi ala sebagian mahasiswa yang memahami Plato bisa jadi masih lebih baik ketimbang demokrasi ala dosen maupun "mahasiswa".
Sebagian mahasiswa tersebut hanya melakukan aktualisasi kritis sebagai fenomena yang muncul dalam masyarakat dengan berlandaskan kepada para pencipta-pencipta kritis seperti filosof Plato, Marx, dan pemikir lain.
Sebaliknya, dosen dan "mahasiswa" tak mampu bersikap dewasa. Bukan hanya lewat pemilihan dekan maupun unjuk baliho, dosen tak masuk mengajar tanpa penjelasan adalah contoh sederhana dari sikap yang tidak teladan. Di manakah letak demokrasi ketika dosen tak masuk mengajar?
Apakah mahasiswa masih bisa berpikir kritis terhadap dosen, sebagaimana sebagian mahasiswa mampu mengkritisi pemerintah sebagai refleksi dari pemikiran filosof dan para pemikiran lainnya yang melahirkan jiwa kritis dalam diri sebagian mahasiswa melalui sebuah aksi demonstrasi dan turun ke jalan.
Apakah mahasiswa masih mampu mengkritisi dosen dan apakah dosen mau dikritik dan terakhir apakah mahasiswa mau mengkritik diri?
Begitu banyak pelajaran tentang demokrasi yang ada di Unhas. Demokrasi mahasiswa dan dosen memang selalu menjadi sejarah kelam dan terang mewarnai dinamika perubahan yang ada di Unhas.
Plato hanyalah salah satu kiblat mengajarkan tentang demokrasi yang ideal. Toh apa yang dikonsep juga tak selalu sejalan dengan realitas.
Bermimpi mungkin lebih indah untuk menikmatinya. Semuanya berpulang kepada diri sendiri baik itu mahasiswa, sebagian dosen, dekan, maupun rektor.
Sedikit kutipan Ahmad Wahib, dalam Pergolakan Pemikiran Islam."Tuhan, Aku percaya bahwa engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik. Pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan apa yang timbul dalam pikirannya. Pikiran yang tidak tahu akan pikirannya sendiri. (***)

(Tribun timur 18 februari 2006)

Comments

  1. numpang lewatja iccank...
    salam buat teman2 di HI nah

    ReplyDelete

Post a Comment

sekedar jejak..

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar